Pages

Sunday, October 25, 2020

TAK DIKENAL, MAKA DIPLAGIAT

 


Pada tahun 1540 M di kota Ingolstad, seorang matematikawan dan ahli geografi Jerman bernama Petrus Apianus (Peter Apian) menerbitkan sebuah buku berjudul Astronomicum Caesareum (sang Kaisar Astronomi) yang kemudian ia hadiahkan kepada Kaisar Romawi Charles V. Kaisar Charles V, para bangsawan dan ahli astronomi Romawi terkesima dengan pemaparan Peter Apian tentang sebuah instrumen berbentuk kuadran (rubu’) yang dapat menyederhanakan kompleksitas penerapan rumus-rumus trigonometri bola, khususnya untuk keperluan navigasi. Contohnya: untuk menentukan data koordinat tempat dimanapun dan kapanpun (tidak terbatas hanya di waktu kulminasi) dengan bantuan benda langit apapun.

Dalam penentuan koordinat tempat, Sine Quadrant (Rubu’ Mujayyab), Planespheric Astrolabe (Al-Usthurlab Al-Musathah), Tongkat Istiwa, Sundial, Mizwalah, Istiwa’aini, dan instrumen lainnya hanya bisa digunakan di saat waktu kulminasi saja dengan model penggunaan yang SAMA, yaitu untuk mengukur tinggi kulminasi dan memastikan waktu kulminasi benda langit yang utamanya adalah Matahari. Selain di saat waktu kulminasi, penentuan koordinat tempat dengan bantuan benda langit apapun, tidak bisa dilakukan.  Namun, kuadran yang dibuat oleh Peter Apian pada tahun 1540 jauh lebih canggih karena bisa dipergunakan untuk melakukan komputasi koordinat lokasi di waktu KAPAN SAJA dengan bantuan Matahari maupun bintang melalui pengoperasian yang sangat simpel. Bahkan saat mendemonstrasikannya di depan para bangsawan Romawi, mereka yang tidak paham dengan rumus-rumus trigonometri bola bisa dengan mudah menggunakan kuadran buatan Peter Apian itu dan seketika bisa menjawab persoalan pelik yang menghantui para astronom Romawi zaman itu, di masa belum ditemukannya teknologi GPS. Dengan bantuan kuadran buatan Peter Apian, para bangsawan Romawi hampir 5 abad silam --yang sampai meninggal dunia tidak pernah menyentuh kalkulator Casio FX 350 MS, bisa selangkah lebih maju dari saya yang sampai kemarin belum tahu caranya mendapatkan data koordinat lokasi tanpa bantuan GPS di LUAR waktu kulminasi Matahari atau benda langit lainnya.😂

Itu adalah satu contoh dari sekian banyak permasalahan trigonometri bola yang bisa diselesaikan dengan mudah menggunakan kuadran buatan Peter Apian. Kuadran “ajaib” itu, Peter Apian namai dengan “De Meteoroscopii” (The Meteoroscope).

Replika De Meteoroscopii / Meteoroscope buatan Peter Apian.

Sumber: Fuat Seizgin, Science and Technology in Islam Vol. 1: Introduction to the History of Arabic-Islamic Sciences, Frankfrut: Institut fur Geschichte der Arabisch-Islamichen Wissenschaften, 2010

 

Buku sang Kaisar Astronomi Peter Apian dan kuadrannya “De Meteoroscopii” menjadi sangat fenomenal, diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, dan dikaji dimana-mana hingga berabad-abad sepeninggal Peter Apian. Pada Colloquium (Temu Pakar Internasional) dengan tema History of Mathematics yang diadakan di Hamburg tahun 1964, J.J. Burckhardt mengatakan bahwa kuadran milik Peter Apian telah jauh mendahului hasil penelitian Profesor G.V. Wulff (1862-1925 M) tentang proyeksi yang menghasilkan grid dengan bentuk menyerupai Kristal. Grid berbentuk Kristal (Crystallography) tersebut disebut-sebut dapat menyelesaikan dengan simpel hampir semua persoalan trigonometri bola yang membutuhkan banyak rumus turunan atau pengembangannya.

Semua astronom, matematikawan internasional, khususnya di Eropa saat itu memuji-muji Kaisar Astronomi Peter Apian dan kuadrannya “De Meteoroscopii”. Semua menyanjung Peter Apian dengan sanjungan setinggi awan Oort di ujung tata surya… Namun, tidak ada yang menyangka bahwa Temu Pakar Internasional tersebut adalah the last event di mana nama Peter Apian santer diagung-agungkan. Dua tahun setelah pertemuan internasional tersebut, semua sanjungan dan pujian kepada Peter Apian mendadak hilang, lenyap, dan musnah bagai tertelan Blackhole. Bagai petir di siang bolong, sebuah artikel yang dipublikasi di British Journal for the History of Science Vol. 3, tahun 1966 dengan begitu “vulgar” memaparkan bukti-bukti bahwa buku sang Kaisar Astronomi Peter Apian dan kuadrannya “De Meteoroscopii”adalah hasil P L A G I A T.

Dalam artikel berjudul Werner, Apian, Blagrave and The Meteoroscope, John David North dengan tegasnya “menelanjangi” Kaisar Astronomi dan membeberkan aib-aib plagiasi yang dilakukan oleh penulisnya, Peter Apian. Teknik proyeksi stereografik khusus yang Apian gunakan dalam pembuatan kurva-kurva atau grid pada Kuadran “ajaib” itu sudah ada berabad-abad sebelum Peter Apian dilahirkan. Jika berbicara tentang penemu teknik proyeksi stereografik, maka gelar kehormatan tersebut harusnya disematkan kepada Hipparchus (w. 127 SM). Sedangkan inovasi teknik stereografik dengan acuan suatu titik di ekuator Bumi yang menghasilkan grid menyerupai kristal (crystallography) BUKAN hasil inovasi yang dilakukan Peter Apian. Inovasi teknik stereografik tersebut juga sudah dikonsepkan dan diterapkan pada pembuatan instrumen astronomi 5 abad sebelum Peter Apian dilahirkan. Inovasi teknik stereografik crystallography yang disebut-sebut bisa menyelesaikan hampir semua persoalan trigonomeri bola adalah hasil pemikiran brilian seorang astronom muslim yang tinggal di bagian Barat dunia Islam: Abu Ishaq Ibrahim AL-ZARQALI (1029-1087 M), yang menciptakan instrumen yang disebut “Al-Shafihah Al-Zarqali / Azaphea Arzachel / Saphea Zarquelis / Saphea / The Universal Astrolabe of Azarqellu”.

Replika Al-Shafihah Al-Zarqaliyah yang dibuat oleh Fuat Seizgin.

Sumber: Fuat Seizgin, Science and Technology in Islam Vol. 1: Introduction to the History of Arabic-Islamic Sciences, Frankfrut: Institut fur Geschichte der Arabisch-Islamichen Wissenschaften, 2010

 

S: Lalu apa inovasi yang dilakukan oleh Peter Apian ?

J:  Peter Apian hanyalah mengiris seperempat dari Al-Shafihah Al-Zarqali dan Syabakah (Rete) dari instrumen milik Al-Zarqali yang keduanya berbentuk lingkaran penuh. Tidak ada bagian dari Saphea yang ditambahkan atau dimodifikasi oleh Peter Apian. Ia hanya mengambil seperempat dari Saphea. Sebuah trik yang sangat sepele namun anehnya bisa mengelabuhi para ahli matematika, astronom, yang kurang familier dengan manuskrip dari ilmuan Arab / Islam.

Namun Peter Apian bukanlah orang pertama yang melakukan inovasi membuat instrumen berbentuk seperempat lingkaran dari Saphea. Berdasarkan artikel David A. King An Analog Computer for Solving Problems of Spherical Astronomy: The Syakkaziyah Quadrant of Jamal al-Din al-Maridini, beberapa astronom muslim Andalusia sepeninggal Al-Syakkazi dan Al-Zarqali telah membuat inovasi untuk menyederhanakan Universal Astrolabe buatan Al-Syakkazi dan Al-Zarqali menjadi instrumen berbentuk seperempat lingkaran (rubu’) yang salah satunya adalah Jamaluddin Al-Maridini (w. 1406 M). Rubu’ al-Syakkaziyah karya Jamaluddin al-Maridini ini dibuat dengan basis Saphea milik al-Zarqali dan mempunyai 2 lempengan kuadran yang masing-masing adalah seperempat bagian dari Plate utama Saphea dan seperempat bagian dari Syabakah atau rete Saphea. Jamaluddin al-Maridini juga menulis buku yang menjelaskan tentang Rubu’ al-Syakkaziyah yang ia buat sekaligus langkah-langkah penggunaannya untuk menjawab permasalahan trigonometri bola.

Replika Rubu’ al-Syakkaziyah Jamaluddin al-Maridini (1406 M) yang dibuat oleh Fuat Seizgin.

Sumber: Fuat Seizgin, Science and Technology in Islam Vol. 1: Introduction to the History of Arabic-Islamic Sciences, Frankfrut: Institut fur Geschichte der Arabisch-Islamichen Wissenschaften, 2010

Sebenarnya Manuskrip karya Al-Zarqali yang memuat penjelasan tentang instrumen Al-Shafihah buatannya sudah tersebar dan diterjemahkan untuk orang-orang non Arab, di antara penerjemahnya adalah Gulielmus Anglicus, Juda Filius Mose Alchoen, Profateus Judaeus dan Johannus Brixiensis, serta John of London di abad ke-13 M (J.D. North tidak menjelaskan apakah mereka bekerja dalam satu tim atau masing-masing dari mereka menerjemahkan manuskrip tersebut secara terpisah). Namun tidak diketahui secara pasti penyebab Saphea kurang dikenal oleh para astronom di masa-masa itu sehingga De Meteoroscopii hasil plagiasi Peter Apian yang mendapatkan seluruh penghargaan dan kehormatan selama 480 tahun. Walaupun begitu, Peter Apian juga memiliki jasa dan gagasan orisinil yang layak diberi penghargaan atau penghormatan.

Salah satu hal yang mungkin bisa dinilai sebagai hasil pemikiran orisinil dari Peter Apian adalah beberapa contoh penggunaan seperempat bagian dari Saphea yang kemudian ia jadikan instrumen berbentuk kuadran dan ia namai: “De Meteoroscopii”. Penjelasan tersebut pastinya belum pernah ditulis oleh Al-Zarqali, mengingat instrumen milik Al-Zarqali adalah versi sempurnanya; lempengan satu lingkaran penuh :D. Adapun permasalahan trigonometri bola di era Peter Apian yang bisa dengan mudah diselesaikan dengan seperempat Saphea, sebenarnya itu sudah terjawab oleh senior Peter Apian yang menekuni ilmu trigonometri bola; Johannes Werner. Namun, penyelesaian masalah-masalah trigonometri bola yang ditulis oleh Johannes Werner masih nampak kompleks. Sehingga Werner berinisiatif untuk membuat instrumen berbentuk kuadran untuk bisa menyederhanakan solusi dari permasalahan trigonometri bola yang sudah ia pecahkan. Kuadran yang Werner rancang itu ia namai De Meteoroscopii. Sayangnya, pada tahun 1532 Johannes Werner meninggal. Lalu catatan atau buku yang belum dipublikasikan milik Johannes Werner (karena mungkin masih belum selesai atau belum tersusun dengan sistematis) “diamankan” oleh Peter Apian. Inilah yang menjadi sumber utama inspirasi Peter Apian. Peter Apian pastinya memiliki pengetahuan yang sangat mumpuni mengenai trigonometri bola. Sehingga ia mampu menyederhanakan solusi kompleks persoalan trigonometri bola zaman itu yang sudah dibuat oleh Johannes Werner dan mengkonsepkan langkah-langkah penggunaan seperempat Saphea sebagai alat bantunya. Inilah jasa terbesar Peter Apian yang patut diapresiasi meski yang sangat disayangkan, Peter Apian sama sekali tidak mengatakan sumber-sumber inspirasi maupun rujukan yang ia gunakan dalam menulis Kaisar Astronomi maupun pembuatan “De Meteoroscopii”. Bahkan Apian terkesan menyembunyikannya, karena buku atau catatan milik Johannes Werner yang sebenarnya Peter Apian simpan, baru bisa dihimpun dan diterbitkan pada tahun 1907 (Bagian I) dan 1913 (Bagian II) oleh Bjornbo.

Selain “membantai” ­sang Kaisar Astronomi, J.D. North juga “mempreteli” Mathematicall Jewel (Permata Matematika) karya John Blagrave (1585 M) yang memaparkan tentang sebuah jenis Astrolabe baru --yang diaku-aku dengan sombong oleh Blagrave sebagai hasil karyanya. Berbeda dengan Peter Apian yang sama sekali tidak menyebutkan referensi yang ia gunakan, John Blagrave menyebutkan para penulis dan pembuat instrumen yang ada sebelumnya –yang sedikit banyaknya menjadi inspirasinya dalam menulis dan membuat sebuah instrumen yang ia namakan “Catolique Planesphaer”, “Catholicon Astrolabe”, atau “Mathematical Jewel”. Sayangnya, penyebutan itu tidak menunjukkan adab atau kesopanan Blagrave. Tokoh-tokoh yang John Blagrave sebutkan, satu persatu hasil karya mereka ia kritik dengan perkataan yang [bagi saya] terkesan bernuansa hinaan: Instrumen yang dibuat oleh Stoner, menurut Blagravevery stale(sangat basi, membosankan), instrumen milik Stoffler itu “artificial(tiruan, tidak asli), instrumen milik Rojas tidak ia sukai karena hasil proyeksinya terdiri dari geometrical crooked lines called Ellipse(garis-garis geometrik yang bengkok dan disebut elips).

Blagrave dengan percaya diri mengatakan bahwa dalam pembuatan konsep instrumennya, ia berpegang pada prinsip: “brevitie, methode, plainesse, and facilitie” (ringkas, bermetode, sederhana, dan memudahkan penggunanya). Lalu saat Blagrave menjelaskan fungsi-fungsi atau kegunaan hasil karyanya yang ia pandang layak menyandang nama Permata Matematika, ia mengatakan: “…so infinite a number of conclusions, more than I thinke I shall ever have time to write….” (begitu tak terhingganya kesimpulan/solusi [yang bisa diberikan oleh instrumen ini], lebih banyak dari waktu yang mungkin aku miliki untuk bisa menulis semuanya).

Sumber: www.sothebys.com

Parahnya, keangkuhan Blagrave ini disertai dengan kejahatan intelektual yang dilakukannya, yaitu: pengakuan bahwa konsep perancangan Permata Matematika ini adalah orisinil dari dirinya. Dua Profesor yang telah banyak melakukan penelitian tentang Astronomi Islam dan mengkaji ratusan manuskrip Arab/Islam di sepanjang hidupnya mengatakan bahwa Permata Matematika milik Blagrave adalah hasil P L A G I A T.

J.D. North mengatakan bahwa Permata Matematika milik Blagrave hanyalah gabungan dari inovasi-inovasi terbaik yang pernah dilakukan oleh para perancang Universal Astrolabe yang Blagrave tidak sebutkan dalam bukunya. terutama: Ali bin Khalaf Al-Syakkazi, dan Abu Ishaq Ibrahim Al-Zarqali. Hal senada dikatakan oleh David A. King dalam artikelnya Islamic Astronomical Instruments and Some Examples of Transmission in Europe. Menurut David A. King, desain Universal Astrolabe yang dibuat oleh John Blagrave 1585 TIDAK LAIN adalah instrumen yang dibuat oleh Ali bin Khalaf (Toledo abad ke-11 M). Dan jika ditinjau dari fungsi matematisnya, Permata Matematika Blagrave TIDAK ADA BEDANYA dengan Universal Astrolabe buatan Syihabuddin Ahmad bin Bakr Al-Sarraj atau IBN SARRAJ (Aleppo, 1325 M) yang bisa digunakan secara universal dengan 5 cara.

1.      Replika Universal Astrolabe Ibn Sarraj versi 1 (1325 M) yang dibuat oleh Fuat Seizgin (Kiri)

2.      Replika Universal Astrolabe Ibn Sarraj versi 2 di Benaki Museum of Muslim Art (Kanan)

 

S: Darimana orang Inggris bernama John Blagrave itu bisa tahu model-model proyeksi dalam pembuatan Universal Astrolabe karya Al-Syakkazi dan Al-Zarqali?

J.D. North mengatakan bahwa Blagrave banyak mengambil ide dari Regiomontanus (Jerman, w. 1476 M). Hal ini dibuktikan dengan susunan pembahasan (Chapter) tentang trigonometri bola yang ada pada buku Permata Matematika milik Blagrave mengikuti susunan pembahasan trigonometri bola pada buku karya Regiomontanus. Dan dari salah satu buku Regiomontanus ini pula Blagrave dapat mempelajari Al-Shafihah Al-Zarqaliyah. Karena buku Problematum Astronomicorum et Geometricorum Sectiones Septem karya Regiomontanus ini di dalamnya juga membahas permasalahan-permasalahan astronomi yang dapat diselesaikan dengan bantuan Azaphea Azarqueil. Lalu menurut hasil penelusuran David A. King, Blagrave mempelajari instrumen-instrumen universal maupun buku-buku karya orang-orang Flemish (Belgia, Prancis dan Belanda), dan utamanya adalah seri buku milik raja Alfonso X El Sabio dari Castilla (Spanyol).

Raja Alfonso X El Sabio dari Castilla (w. 1284 M) pada awal masa pemerintahannya, mengumpulkan para penerjemah dan sarjana untuk menerjemahkan buku-buku astronomi dari bahasa Arab, Yunani, dan Ibrani lalu menghimpunnya dalam serangkaian seri buku yang dapat mencakup seluruh pengetahuan tentang Astronomi yang ada pada masa itu. Seri buku yang berjudul Libros del Saber de la Astronomia del rey Alfonso X de Castilla (Buku-Buku Kearifan Astronomi Milik Raja Alfonso X dari Castilla) ini menurut David A. King banyak mempengaruhi ide dan pemikiran para pembuat instrumen astronomi di Eropa pada masa Rennaisance. Buku yang pernah disusun di masa pemerintahan raja Alfonso X El Sabio inilah satu-satunya karya yang mengabadikan terjemahan bahasa Spanyol dari manuskrip Arab milik Abu Ishaq Ibrahim al-Zarqali dan Ali bin Khalaf al-Syajjari (al-Syakkazi) yang hilang.

Ilustrasi Saphea pada buku Libros del Saber de la Astronomia del rey Alfonso X de Castilla

Sumber: Fuat Seizgin, Science and Technology in Islam Vol. 1: Introduction to the History of Arabic-Islamic Sciences, Frankfrut: Institut fur Geschichte der Arabisch-Islamichen Wissenschaften, 2010

 

Epilogue

Tulisan ini hanyalah berisi terjemahan amatir, review dangkal dan nukilan-nukilan yang saya lakukan/pilih secara subjektif (dengan tambahan pernyataan hiperbolik juga) setelah membaca beberapa artikel dan buku yang telah disebutkan di atas, utamanya adalah yang ditulis oleh J.D. North, David A. King dan Fuat Seizgin. Saya sarankan teman-teman untuk membaca artikel dan buku tersebut untuk mendapatkan pandangan yang jauh lebih OBJEKTIF dan pemahaman yang komprehensif.

 Tidak ada niatan dari saya untuk mencerca atau menghina salah satu karya Peter Apian dan John Blagrave yang sudah banyak dikaji, didiskusikan, dan dikembangkan oleh orang-orang lintas generasi serta berjasa menjadikan ilmu pengetahuan khususnya matematika dan astronomi terus berkembang. Meski terindikasi [benar-benar] melakukan Plagiasi pada salah satu karyanya, masih banyak karya Peter Apian yang tak terbantahkan bahwa itu adalah orisinil hasil pemikiran dan inovasi yang Apian lakukan, begitu juga dengan Blagrave. Bahkan setelah sekilas membaca biografi intelektual keduanya dari beberapa sumber internet, saya jadi memiliki asumsi: “Jangan-jangan karena mendalamnya keilmuan Apian dan Blagrave dalam trigonometri bola dan teknik proyeksi stereografik, mereka berdua menghasilkan karya yang serupa dengan Al-Syakkazi dan Al-Zarqali. Jangan-jangan kisah Peter Apian dan Blagrave ini seperti cerita Henry Norris Russell yang melakukan penelitiannya sendiri sampai menemukan dan mengembangkan diagram warna-magnitude. Russell benar-benar tidak tahu jika hubungan antara kelas spektrum bintang dan luminositas bintang sudah diketahui dan diteliti oleh Ejnar Hertzsprung 8 tahun sebelumnya. Namun karena kepakaran, kejelian dan ketekunan Russell dalam penelitiannya, ia menghasilkan kesimpulan yang sama dengan apa yang telah disimpulkan oleh Ejnar Hertzsprung 8 tahun sebelumnya.”

Ini hanyalah asumsi belaka yang hanya didasarkan pada keinginan saya untuk husnuzhan kepada Peter Apian dan John Blagrave. Namun asumsi ini seketika dapat dengan mudah terbantahkan dengan hasil penelusuran dan penelitian ratusan manuskrip astronomi berbagai bahasa yang dilakukan selama bertahun-tahun oleh profesor J.D. North dan profesor David A. King.

Wallahu A’lam….

 

Bahan Bacaan&Referensi Utama

J. D. North, “Werner, Apian, Blagrave and The Meteoroscope”, British Journal for the History of Science (Vol. 3, 1966)

Fuat Seizgin, Science and Technology in Islam Vol. 1: Introduction to the History of Arabic-Islamic Sciences, Frankfrut: Institut fur Geschichte der Arabisch-Islamichen Wissenschaften, 2010

David A. King, “Islamic Astronomical Instruments and Some Examples of Transmission in Europe”, pada buku A Shared Legacy Islamic Science East and West, Barcelona: Universitat de Barcelona, 2008

David A. King, “An Analog Computer for Solving Problems of Spherical Astronomy: The Syakkaziyah Quadrant of Jamal al-Din al-Maridini”, pada Arsip Internationales d’Histoire des Sciences, (No. 24, 1976)

 

Purwokerto, 25 Oktober 2020

M. Syaoqi Nahwandi