Sunday, October 25, 2020

TAK DIKENAL, MAKA DIPLAGIAT

 


Pada tahun 1540 M di kota Ingolstad, seorang matematikawan dan ahli geografi Jerman bernama Petrus Apianus (Peter Apian) menerbitkan sebuah buku berjudul Astronomicum Caesareum (sang Kaisar Astronomi) yang kemudian ia hadiahkan kepada Kaisar Romawi Charles V. Kaisar Charles V, para bangsawan dan ahli astronomi Romawi terkesima dengan pemaparan Peter Apian tentang sebuah instrumen berbentuk kuadran (rubu’) yang dapat menyederhanakan kompleksitas penerapan rumus-rumus trigonometri bola, khususnya untuk keperluan navigasi. Contohnya: untuk menentukan data koordinat tempat dimanapun dan kapanpun (tidak terbatas hanya di waktu kulminasi) dengan bantuan benda langit apapun.

Dalam penentuan koordinat tempat, Sine Quadrant (Rubu’ Mujayyab), Planespheric Astrolabe (Al-Usthurlab Al-Musathah), Tongkat Istiwa, Sundial, Mizwalah, Istiwa’aini, dan instrumen lainnya hanya bisa digunakan di saat waktu kulminasi saja dengan model penggunaan yang SAMA, yaitu untuk mengukur tinggi kulminasi dan memastikan waktu kulminasi benda langit yang utamanya adalah Matahari. Selain di saat waktu kulminasi, penentuan koordinat tempat dengan bantuan benda langit apapun, tidak bisa dilakukan.  Namun, kuadran yang dibuat oleh Peter Apian pada tahun 1540 jauh lebih canggih karena bisa dipergunakan untuk melakukan komputasi koordinat lokasi di waktu KAPAN SAJA dengan bantuan Matahari maupun bintang melalui pengoperasian yang sangat simpel. Bahkan saat mendemonstrasikannya di depan para bangsawan Romawi, mereka yang tidak paham dengan rumus-rumus trigonometri bola bisa dengan mudah menggunakan kuadran buatan Peter Apian itu dan seketika bisa menjawab persoalan pelik yang menghantui para astronom Romawi zaman itu, di masa belum ditemukannya teknologi GPS. Dengan bantuan kuadran buatan Peter Apian, para bangsawan Romawi hampir 5 abad silam --yang sampai meninggal dunia tidak pernah menyentuh kalkulator Casio FX 350 MS, bisa selangkah lebih maju dari saya yang sampai kemarin belum tahu caranya mendapatkan data koordinat lokasi tanpa bantuan GPS di LUAR waktu kulminasi Matahari atau benda langit lainnya.😂

Itu adalah satu contoh dari sekian banyak permasalahan trigonometri bola yang bisa diselesaikan dengan mudah menggunakan kuadran buatan Peter Apian. Kuadran “ajaib” itu, Peter Apian namai dengan “De Meteoroscopii” (The Meteoroscope).

Replika De Meteoroscopii / Meteoroscope buatan Peter Apian.

Sumber: Fuat Seizgin, Science and Technology in Islam Vol. 1: Introduction to the History of Arabic-Islamic Sciences, Frankfrut: Institut fur Geschichte der Arabisch-Islamichen Wissenschaften, 2010

 

Buku sang Kaisar Astronomi Peter Apian dan kuadrannya “De Meteoroscopii” menjadi sangat fenomenal, diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, dan dikaji dimana-mana hingga berabad-abad sepeninggal Peter Apian. Pada Colloquium (Temu Pakar Internasional) dengan tema History of Mathematics yang diadakan di Hamburg tahun 1964, J.J. Burckhardt mengatakan bahwa kuadran milik Peter Apian telah jauh mendahului hasil penelitian Profesor G.V. Wulff (1862-1925 M) tentang proyeksi yang menghasilkan grid dengan bentuk menyerupai Kristal. Grid berbentuk Kristal (Crystallography) tersebut disebut-sebut dapat menyelesaikan dengan simpel hampir semua persoalan trigonometri bola yang membutuhkan banyak rumus turunan atau pengembangannya.

Semua astronom, matematikawan internasional, khususnya di Eropa saat itu memuji-muji Kaisar Astronomi Peter Apian dan kuadrannya “De Meteoroscopii”. Semua menyanjung Peter Apian dengan sanjungan setinggi awan Oort di ujung tata surya… Namun, tidak ada yang menyangka bahwa Temu Pakar Internasional tersebut adalah the last event di mana nama Peter Apian santer diagung-agungkan. Dua tahun setelah pertemuan internasional tersebut, semua sanjungan dan pujian kepada Peter Apian mendadak hilang, lenyap, dan musnah bagai tertelan Blackhole. Bagai petir di siang bolong, sebuah artikel yang dipublikasi di British Journal for the History of Science Vol. 3, tahun 1966 dengan begitu “vulgar” memaparkan bukti-bukti bahwa buku sang Kaisar Astronomi Peter Apian dan kuadrannya “De Meteoroscopii”adalah hasil P L A G I A T.

Dalam artikel berjudul Werner, Apian, Blagrave and The Meteoroscope, John David North dengan tegasnya “menelanjangi” Kaisar Astronomi dan membeberkan aib-aib plagiasi yang dilakukan oleh penulisnya, Peter Apian. Teknik proyeksi stereografik khusus yang Apian gunakan dalam pembuatan kurva-kurva atau grid pada Kuadran “ajaib” itu sudah ada berabad-abad sebelum Peter Apian dilahirkan. Jika berbicara tentang penemu teknik proyeksi stereografik, maka gelar kehormatan tersebut harusnya disematkan kepada Hipparchus (w. 127 SM). Sedangkan inovasi teknik stereografik dengan acuan suatu titik di ekuator Bumi yang menghasilkan grid menyerupai kristal (crystallography) BUKAN hasil inovasi yang dilakukan Peter Apian. Inovasi teknik stereografik tersebut juga sudah dikonsepkan dan diterapkan pada pembuatan instrumen astronomi 5 abad sebelum Peter Apian dilahirkan. Inovasi teknik stereografik crystallography yang disebut-sebut bisa menyelesaikan hampir semua persoalan trigonomeri bola adalah hasil pemikiran brilian seorang astronom muslim yang tinggal di bagian Barat dunia Islam: Abu Ishaq Ibrahim AL-ZARQALI (1029-1087 M), yang menciptakan instrumen yang disebut “Al-Shafihah Al-Zarqali / Azaphea Arzachel / Saphea Zarquelis / Saphea / The Universal Astrolabe of Azarqellu”.

Replika Al-Shafihah Al-Zarqaliyah yang dibuat oleh Fuat Seizgin.

Sumber: Fuat Seizgin, Science and Technology in Islam Vol. 1: Introduction to the History of Arabic-Islamic Sciences, Frankfrut: Institut fur Geschichte der Arabisch-Islamichen Wissenschaften, 2010

 

S: Lalu apa inovasi yang dilakukan oleh Peter Apian ?

J:  Peter Apian hanyalah mengiris seperempat dari Al-Shafihah Al-Zarqali dan Syabakah (Rete) dari instrumen milik Al-Zarqali yang keduanya berbentuk lingkaran penuh. Tidak ada bagian dari Saphea yang ditambahkan atau dimodifikasi oleh Peter Apian. Ia hanya mengambil seperempat dari Saphea. Sebuah trik yang sangat sepele namun anehnya bisa mengelabuhi para ahli matematika, astronom, yang kurang familier dengan manuskrip dari ilmuan Arab / Islam.

Namun Peter Apian bukanlah orang pertama yang melakukan inovasi membuat instrumen berbentuk seperempat lingkaran dari Saphea. Berdasarkan artikel David A. King An Analog Computer for Solving Problems of Spherical Astronomy: The Syakkaziyah Quadrant of Jamal al-Din al-Maridini, beberapa astronom muslim Andalusia sepeninggal Al-Syakkazi dan Al-Zarqali telah membuat inovasi untuk menyederhanakan Universal Astrolabe buatan Al-Syakkazi dan Al-Zarqali menjadi instrumen berbentuk seperempat lingkaran (rubu’) yang salah satunya adalah Jamaluddin Al-Maridini (w. 1406 M). Rubu’ al-Syakkaziyah karya Jamaluddin al-Maridini ini dibuat dengan basis Saphea milik al-Zarqali dan mempunyai 2 lempengan kuadran yang masing-masing adalah seperempat bagian dari Plate utama Saphea dan seperempat bagian dari Syabakah atau rete Saphea. Jamaluddin al-Maridini juga menulis buku yang menjelaskan tentang Rubu’ al-Syakkaziyah yang ia buat sekaligus langkah-langkah penggunaannya untuk menjawab permasalahan trigonometri bola.

Replika Rubu’ al-Syakkaziyah Jamaluddin al-Maridini (1406 M) yang dibuat oleh Fuat Seizgin.

Sumber: Fuat Seizgin, Science and Technology in Islam Vol. 1: Introduction to the History of Arabic-Islamic Sciences, Frankfrut: Institut fur Geschichte der Arabisch-Islamichen Wissenschaften, 2010

Sebenarnya Manuskrip karya Al-Zarqali yang memuat penjelasan tentang instrumen Al-Shafihah buatannya sudah tersebar dan diterjemahkan untuk orang-orang non Arab, di antara penerjemahnya adalah Gulielmus Anglicus, Juda Filius Mose Alchoen, Profateus Judaeus dan Johannus Brixiensis, serta John of London di abad ke-13 M (J.D. North tidak menjelaskan apakah mereka bekerja dalam satu tim atau masing-masing dari mereka menerjemahkan manuskrip tersebut secara terpisah). Namun tidak diketahui secara pasti penyebab Saphea kurang dikenal oleh para astronom di masa-masa itu sehingga De Meteoroscopii hasil plagiasi Peter Apian yang mendapatkan seluruh penghargaan dan kehormatan selama 480 tahun. Walaupun begitu, Peter Apian juga memiliki jasa dan gagasan orisinil yang layak diberi penghargaan atau penghormatan.

Salah satu hal yang mungkin bisa dinilai sebagai hasil pemikiran orisinil dari Peter Apian adalah beberapa contoh penggunaan seperempat bagian dari Saphea yang kemudian ia jadikan instrumen berbentuk kuadran dan ia namai: “De Meteoroscopii”. Penjelasan tersebut pastinya belum pernah ditulis oleh Al-Zarqali, mengingat instrumen milik Al-Zarqali adalah versi sempurnanya; lempengan satu lingkaran penuh :D. Adapun permasalahan trigonometri bola di era Peter Apian yang bisa dengan mudah diselesaikan dengan seperempat Saphea, sebenarnya itu sudah terjawab oleh senior Peter Apian yang menekuni ilmu trigonometri bola; Johannes Werner. Namun, penyelesaian masalah-masalah trigonometri bola yang ditulis oleh Johannes Werner masih nampak kompleks. Sehingga Werner berinisiatif untuk membuat instrumen berbentuk kuadran untuk bisa menyederhanakan solusi dari permasalahan trigonometri bola yang sudah ia pecahkan. Kuadran yang Werner rancang itu ia namai De Meteoroscopii. Sayangnya, pada tahun 1532 Johannes Werner meninggal. Lalu catatan atau buku yang belum dipublikasikan milik Johannes Werner (karena mungkin masih belum selesai atau belum tersusun dengan sistematis) “diamankan” oleh Peter Apian. Inilah yang menjadi sumber utama inspirasi Peter Apian. Peter Apian pastinya memiliki pengetahuan yang sangat mumpuni mengenai trigonometri bola. Sehingga ia mampu menyederhanakan solusi kompleks persoalan trigonometri bola zaman itu yang sudah dibuat oleh Johannes Werner dan mengkonsepkan langkah-langkah penggunaan seperempat Saphea sebagai alat bantunya. Inilah jasa terbesar Peter Apian yang patut diapresiasi meski yang sangat disayangkan, Peter Apian sama sekali tidak mengatakan sumber-sumber inspirasi maupun rujukan yang ia gunakan dalam menulis Kaisar Astronomi maupun pembuatan “De Meteoroscopii”. Bahkan Apian terkesan menyembunyikannya, karena buku atau catatan milik Johannes Werner yang sebenarnya Peter Apian simpan, baru bisa dihimpun dan diterbitkan pada tahun 1907 (Bagian I) dan 1913 (Bagian II) oleh Bjornbo.

Selain “membantai” ­sang Kaisar Astronomi, J.D. North juga “mempreteli” Mathematicall Jewel (Permata Matematika) karya John Blagrave (1585 M) yang memaparkan tentang sebuah jenis Astrolabe baru --yang diaku-aku dengan sombong oleh Blagrave sebagai hasil karyanya. Berbeda dengan Peter Apian yang sama sekali tidak menyebutkan referensi yang ia gunakan, John Blagrave menyebutkan para penulis dan pembuat instrumen yang ada sebelumnya –yang sedikit banyaknya menjadi inspirasinya dalam menulis dan membuat sebuah instrumen yang ia namakan “Catolique Planesphaer”, “Catholicon Astrolabe”, atau “Mathematical Jewel”. Sayangnya, penyebutan itu tidak menunjukkan adab atau kesopanan Blagrave. Tokoh-tokoh yang John Blagrave sebutkan, satu persatu hasil karya mereka ia kritik dengan perkataan yang [bagi saya] terkesan bernuansa hinaan: Instrumen yang dibuat oleh Stoner, menurut Blagravevery stale(sangat basi, membosankan), instrumen milik Stoffler itu “artificial(tiruan, tidak asli), instrumen milik Rojas tidak ia sukai karena hasil proyeksinya terdiri dari geometrical crooked lines called Ellipse(garis-garis geometrik yang bengkok dan disebut elips).

Blagrave dengan percaya diri mengatakan bahwa dalam pembuatan konsep instrumennya, ia berpegang pada prinsip: “brevitie, methode, plainesse, and facilitie” (ringkas, bermetode, sederhana, dan memudahkan penggunanya). Lalu saat Blagrave menjelaskan fungsi-fungsi atau kegunaan hasil karyanya yang ia pandang layak menyandang nama Permata Matematika, ia mengatakan: “…so infinite a number of conclusions, more than I thinke I shall ever have time to write….” (begitu tak terhingganya kesimpulan/solusi [yang bisa diberikan oleh instrumen ini], lebih banyak dari waktu yang mungkin aku miliki untuk bisa menulis semuanya).

Sumber: www.sothebys.com

Parahnya, keangkuhan Blagrave ini disertai dengan kejahatan intelektual yang dilakukannya, yaitu: pengakuan bahwa konsep perancangan Permata Matematika ini adalah orisinil dari dirinya. Dua Profesor yang telah banyak melakukan penelitian tentang Astronomi Islam dan mengkaji ratusan manuskrip Arab/Islam di sepanjang hidupnya mengatakan bahwa Permata Matematika milik Blagrave adalah hasil P L A G I A T.

J.D. North mengatakan bahwa Permata Matematika milik Blagrave hanyalah gabungan dari inovasi-inovasi terbaik yang pernah dilakukan oleh para perancang Universal Astrolabe yang Blagrave tidak sebutkan dalam bukunya. terutama: Ali bin Khalaf Al-Syakkazi, dan Abu Ishaq Ibrahim Al-Zarqali. Hal senada dikatakan oleh David A. King dalam artikelnya Islamic Astronomical Instruments and Some Examples of Transmission in Europe. Menurut David A. King, desain Universal Astrolabe yang dibuat oleh John Blagrave 1585 TIDAK LAIN adalah instrumen yang dibuat oleh Ali bin Khalaf (Toledo abad ke-11 M). Dan jika ditinjau dari fungsi matematisnya, Permata Matematika Blagrave TIDAK ADA BEDANYA dengan Universal Astrolabe buatan Syihabuddin Ahmad bin Bakr Al-Sarraj atau IBN SARRAJ (Aleppo, 1325 M) yang bisa digunakan secara universal dengan 5 cara.

1.      Replika Universal Astrolabe Ibn Sarraj versi 1 (1325 M) yang dibuat oleh Fuat Seizgin (Kiri)

2.      Replika Universal Astrolabe Ibn Sarraj versi 2 di Benaki Museum of Muslim Art (Kanan)

 

S: Darimana orang Inggris bernama John Blagrave itu bisa tahu model-model proyeksi dalam pembuatan Universal Astrolabe karya Al-Syakkazi dan Al-Zarqali?

J.D. North mengatakan bahwa Blagrave banyak mengambil ide dari Regiomontanus (Jerman, w. 1476 M). Hal ini dibuktikan dengan susunan pembahasan (Chapter) tentang trigonometri bola yang ada pada buku Permata Matematika milik Blagrave mengikuti susunan pembahasan trigonometri bola pada buku karya Regiomontanus. Dan dari salah satu buku Regiomontanus ini pula Blagrave dapat mempelajari Al-Shafihah Al-Zarqaliyah. Karena buku Problematum Astronomicorum et Geometricorum Sectiones Septem karya Regiomontanus ini di dalamnya juga membahas permasalahan-permasalahan astronomi yang dapat diselesaikan dengan bantuan Azaphea Azarqueil. Lalu menurut hasil penelusuran David A. King, Blagrave mempelajari instrumen-instrumen universal maupun buku-buku karya orang-orang Flemish (Belgia, Prancis dan Belanda), dan utamanya adalah seri buku milik raja Alfonso X El Sabio dari Castilla (Spanyol).

Raja Alfonso X El Sabio dari Castilla (w. 1284 M) pada awal masa pemerintahannya, mengumpulkan para penerjemah dan sarjana untuk menerjemahkan buku-buku astronomi dari bahasa Arab, Yunani, dan Ibrani lalu menghimpunnya dalam serangkaian seri buku yang dapat mencakup seluruh pengetahuan tentang Astronomi yang ada pada masa itu. Seri buku yang berjudul Libros del Saber de la Astronomia del rey Alfonso X de Castilla (Buku-Buku Kearifan Astronomi Milik Raja Alfonso X dari Castilla) ini menurut David A. King banyak mempengaruhi ide dan pemikiran para pembuat instrumen astronomi di Eropa pada masa Rennaisance. Buku yang pernah disusun di masa pemerintahan raja Alfonso X El Sabio inilah satu-satunya karya yang mengabadikan terjemahan bahasa Spanyol dari manuskrip Arab milik Abu Ishaq Ibrahim al-Zarqali dan Ali bin Khalaf al-Syajjari (al-Syakkazi) yang hilang.

Ilustrasi Saphea pada buku Libros del Saber de la Astronomia del rey Alfonso X de Castilla

Sumber: Fuat Seizgin, Science and Technology in Islam Vol. 1: Introduction to the History of Arabic-Islamic Sciences, Frankfrut: Institut fur Geschichte der Arabisch-Islamichen Wissenschaften, 2010

 

Epilogue

Tulisan ini hanyalah berisi terjemahan amatir, review dangkal dan nukilan-nukilan yang saya lakukan/pilih secara subjektif (dengan tambahan pernyataan hiperbolik juga) setelah membaca beberapa artikel dan buku yang telah disebutkan di atas, utamanya adalah yang ditulis oleh J.D. North, David A. King dan Fuat Seizgin. Saya sarankan teman-teman untuk membaca artikel dan buku tersebut untuk mendapatkan pandangan yang jauh lebih OBJEKTIF dan pemahaman yang komprehensif.

 Tidak ada niatan dari saya untuk mencerca atau menghina salah satu karya Peter Apian dan John Blagrave yang sudah banyak dikaji, didiskusikan, dan dikembangkan oleh orang-orang lintas generasi serta berjasa menjadikan ilmu pengetahuan khususnya matematika dan astronomi terus berkembang. Meski terindikasi [benar-benar] melakukan Plagiasi pada salah satu karyanya, masih banyak karya Peter Apian yang tak terbantahkan bahwa itu adalah orisinil hasil pemikiran dan inovasi yang Apian lakukan, begitu juga dengan Blagrave. Bahkan setelah sekilas membaca biografi intelektual keduanya dari beberapa sumber internet, saya jadi memiliki asumsi: “Jangan-jangan karena mendalamnya keilmuan Apian dan Blagrave dalam trigonometri bola dan teknik proyeksi stereografik, mereka berdua menghasilkan karya yang serupa dengan Al-Syakkazi dan Al-Zarqali. Jangan-jangan kisah Peter Apian dan Blagrave ini seperti cerita Henry Norris Russell yang melakukan penelitiannya sendiri sampai menemukan dan mengembangkan diagram warna-magnitude. Russell benar-benar tidak tahu jika hubungan antara kelas spektrum bintang dan luminositas bintang sudah diketahui dan diteliti oleh Ejnar Hertzsprung 8 tahun sebelumnya. Namun karena kepakaran, kejelian dan ketekunan Russell dalam penelitiannya, ia menghasilkan kesimpulan yang sama dengan apa yang telah disimpulkan oleh Ejnar Hertzsprung 8 tahun sebelumnya.”

Ini hanyalah asumsi belaka yang hanya didasarkan pada keinginan saya untuk husnuzhan kepada Peter Apian dan John Blagrave. Namun asumsi ini seketika dapat dengan mudah terbantahkan dengan hasil penelusuran dan penelitian ratusan manuskrip astronomi berbagai bahasa yang dilakukan selama bertahun-tahun oleh profesor J.D. North dan profesor David A. King.

Wallahu A’lam….

 

Bahan Bacaan&Referensi Utama

J. D. North, “Werner, Apian, Blagrave and The Meteoroscope”, British Journal for the History of Science (Vol. 3, 1966)

Fuat Seizgin, Science and Technology in Islam Vol. 1: Introduction to the History of Arabic-Islamic Sciences, Frankfrut: Institut fur Geschichte der Arabisch-Islamichen Wissenschaften, 2010

David A. King, “Islamic Astronomical Instruments and Some Examples of Transmission in Europe”, pada buku A Shared Legacy Islamic Science East and West, Barcelona: Universitat de Barcelona, 2008

David A. King, “An Analog Computer for Solving Problems of Spherical Astronomy: The Syakkaziyah Quadrant of Jamal al-Din al-Maridini”, pada Arsip Internationales d’Histoire des Sciences, (No. 24, 1976)

 

Purwokerto, 25 Oktober 2020

M. Syaoqi Nahwandi

Saturday, June 13, 2020

HISAB AWAL BULAN QAMARIAH DENGAN MENGGUNAKAN DATA NAUTICAL ALMANAC


Para pegiat ilmu falak tentu sudah tidak asing lagi dengan Nautical Almanac. Buku berformat PDF ini, sebagian besarnya berisi data-data koordinat equatorial Matahari, Bulan, planet-planet dan bintang-bintang pertahun, -yang dapat diunduh secara gratis di www.thenauticalalmanac.com. Menjelang akhir bulan Qamariah atau sebelum pelaksanaan rukyatul hilal, beberapa rekan kami dari pegiat ilmu falak sering menshare hasil hisab posisi hilal dengan berbagai metode, salah satunya dengan data-data Nautical Almanac. Hisab awal bulan Qamariah dengan data-data Nautical Almanac ini tergolong dalam hisab kontemporer atau tadqiqi karena tingkat akurasinya yang cukup tinggi.
Saya pribadi termasuk yang suka dengan Nautical Almanac. Dan jika harus memilih antara menggunakan data Nautical Almanac atau data dari software WinHisab 2.0 (buatan tahun 1998), saya lebih memilih menggunakan Nautical Almanac. Saya memiliki tiga alasan:
1)      Nautical Almanac adalah salah satu alasan mengapa garis bujur yang melintasi Greenwich dijadikan sebagai acuan Meridian 0o. Silahkan baca sendiri catatan/laporan konferensi internasional penentuan garis meridian 0o pada tahun 1881 M, saya tuliskan sekelumitnya saja yang saya masih ingat: Pada sesi akhir konferensi, ada dua kandidat kuat yang akan dijadikan sebagai acuan acuan Meridian 0o, yaitu kota Greenwich dan Paris. Keduanya sama-sama memiliki observatorium yang memiliki sumbangsih luar biasa pada dunia dan setiap tahunnya sama-sama menerbitkan buku hasil kalkulasi/komputasi posisi benda langit yang banyak digunakan untuk keperluan navigasi di laut seluruh dunia. Setelah dilakukan survey pengguna Nautical Almanac (Greenwich) dan Connaisanse des Temps (Paris), ternyata yang paling banyak digunakan oleh para pelaut adalah Nautical Almanac. Begitu juga dengan bobot/muatan Kapal Tanker yang berlayar dengan menggunakan panduan data navigasi dari Nautical Almanac. Sehingga dalam konferensi internasional penentuan garis meridian 0o, Greenwich terpilih sebagai kota acuan meridian 0o.
2)      Saya pernah iseng-iseng menghitung ijtima’ akhir Dzulhijjah 0 H (14 Juli 622 M, tahun saat Nabi Hijrah) dengan berbagai metode dan software: Algoritma Jean Meeus, data Winhisab 2.0, dan Accurate Times. Hasilnya, antara Algoritma Jean Meeus dan Accurate Times hanya memiliki selisih sebesar kurang lebih 2 menit. Sedangkan hasil hisab ijtima dengan data dari Winhisab 2.0 memiliki selisih lebih dari 1 jam !! saya ulangi lagi untuk bulan-bulan berikutnya di tahun 1 H. Hasilnya pun demikian, hisab yang menggunakan data dari software Winhisab 2.0 memiliki selisih 1 jam lebih dari hasil Jean Meeus dan Accurate Times. Saya curiga jangan-jangan dalam coding Winhisab 2.0, programmernya tidak memasukkan koreksi Delta T (ΔT) untuk konversi dari sistem jam UT (Universal Time) menjadi sistem jam TD (Dynamical Time) atau istilah jadulnya sistem jam ET (Ephemeris Time). Kebetulan saat di tahun 1 H/622 M, nilai dari koreksi ΔT adalah sebesar > 1 jam. Saya pernah guyon dengan teman-teman di Padepokan Al-Biruni Semarang, jangan-jangan ini karena sayyidina Ali tidak mau menyalip orang tua saat berjalan ke masjid untuk salat subuh berjamaah bersama Kanjeng Nabi. Atas izin Allah, Matahari diperlambat untuk terbit sehingga beliau masih bisa ikut salat berjamaah. perlu diketahui bahwa ΔT adalah perbedaan sistem waktu UT (yang baku) yang kita gunakan dengan kecepatan rotasi Bumi yang kadang mempercepat dan kadang melambat. Menurut kisahnya, “Allah memperlambat terbitnya Matahari” itu kan sama dengan melambatnya rotasi Bumi. Tapi yang jadi pertanyaannya, kok sampai 1 jam ? masa kanjeng Nabi ditahan oleh Malaikat Jibril agar tetap ruku’ sampai 1 jam lebih sampai sayyidina Ali ikut salat? Wallahu a’lam.:D Oh ya, jangan dibingungkan antara ΔT dengan Equation of Time. Equation of Time itu koreksi waktu akibat kemiringan bidang ekliptika dari ekuator Bumi (berikut efek variasi kecepatan revolusi Bumi: Hukum Kepler II) yang sekaligus juga dipengaruhi oleh gerak nutasi Bumi.
3)      Alasan terakhirnya, saya pernah melakukan penelitian dengan teknik observasi untuk makalah komprehensif S2 saya yang berjudul “Reformulasi Algoritma Hisab Posisi Bintang Penanda Awal Waktu Isya dan Subuh”. Observasi yang saya lakukan adalah membandingkan data altitude dan azimuth bintang hasil reformulasi algoritma yang saya lakukan dengan pengamatan bintang tersebut saat Isya dan Subuh. Acuan data koordinat equatorial bintang yang saya gunakan bersumber dari Nautical Almanac dan Nautical Almanac of the Stars, 2 Buku yang dipublish lewat www.thenauticalalmanac.com. Hasilnya, hanya selisih sedikit. Dan meskipun tidak tepat di tengah theodolite’s scope, bintang tersebut  masih terbidik. Perlu diketahui bahwa theodolite’s scope itu punya pembesaran yang lumayan besar tetapi medan pandangnya cukup sempit. Jadi jika bintang yang terlihat hanya titik kecil putih masih bisa terbidik lewat theodolite’s scope, maka data yang saya gunakan dari Nautical Almanac itu bisa dibilang akurat! Reformulasi algoritma yang saya lakukan jadi ikutan terbukti akurat juga. hehehe. Makalah kompre saya masih dalam proses penerjemahan ke dalam bahasa Inggris agar bisa dimuat di Jurnal Al-Hilal UIN Walisongo. Nanti jika sudah dipublish, silahkan dibaca

Baik, Saya cukupkan untuk prolognya.
Saat teman-teman ingin mencoba menghitung posisi hilal menggunakan data-data dari Nautical Almanac, maka harus disiapkan dahulu buku Nautical Almanac. Seperti yang sudah saya singgung di prolog, lewat website www.thenauticalalmanac.com HMNAO (Her Magesty Nautical Almanac Office) menerbitkan dua buku: The Nautical Almanac dan Nautical Almanac of the Stars. untuk keperluan hisab awal bulan Qamariah, yang akan teman-teman gunakan adalah buku Nautical Almanac 2020 (tahun ini) bukan yang berjudul Nautical Almanac of the Stars. Di bawah ini cover dari Nautical Almanac 2020

Dalam tulisan ini, saya akan menggunakan contoh hisab awal bulan Dzulhijjah 1441 H/akhir bulan Dzulqo’dah 1441 H. Langkah-langkah hisab awal bulan Qamariah dengan menggunakan data-data Nautical Almanac adalah sebagai berikut:
A.       Konversi tanggal 29 Dzulqodah 1441 H ke kalender Masehi
Langkah awal kita adalah melakukan konversi dari kalender Hijriah ke Masehi. Hal ini dilakukan karena Nautical Almanac menyediakan data-data Matahari dan Bulan perjam dan pertanggal kalender Masehi, bukan Qamariah/Hijriah. Sebenarnya tanpa melakukan konversi kalender pun bisa. Karena saat Nautical Almanac 2020 diterbitkan, kita sudah pasti punya kalender tahun 2020. Konversinya tidak perlu dihitung, cukup dengan melihat kalender saja. :D Berbeda jika kita menggunakan data Matahari dan Bulan dari software yang bisa disetting jauh sebelum atau sesudah tahun 2020, yang kemungkinan besar kita tidak memiliki kalender tersebut. :D Tapi jika harus dihitung, maka saya berikan rumus konversi konversi kalender yang cukup simple khusus untuk pengguna Nautical Almanac:
JHM = THTam x 354,3670139 + NAB x 29,53058 + 227016 + 13
Keterangan:
JHM : Jumlah Hari pada kalender Masehi
THTam     : Tahun Hijriah Tam sebelumnya, pada contoh ini nilai THTam adalah 1440
NAB : nomor akhir bulan hijriah, pada contoh ini nilai NAB adalah 11 (Dzulqo’dah)
227016     : Selisih kalender Masehi dan Hijriah. Maksudnya adalah jumlah hari dari awal kalender Masehi (1 Januari 1 M) sampai awal kalender Hijriah (1 Muharram 1 H) adalah 227016 hari
13  : koreksi gregorius untuk tanggal 1 Maret 1900 sampai 28 Februari 2100
 Maka:
JHM         = 1440 x 354,3670139 + 11 x 29,53058 + 227016 + 13
                        = 737642 hari (jika angka di belakang koma >= 5, maka dibulatkan +1)
Tahun Masehi hasil konversinya:
TM      = JHM : 365,25 + 1
                        = 737642 : 365,25 + 1
                        = 2020 (dipangkas, angka di belakang koma tidak dianggap/dibuang)
Bulan Masehi hasil konversinya:
BM      = (JHM : 365,25 + 1 -TM) x 12 + 1
                        = (737642 : 365,25 + 1 -2020) x 12 +1
                        = 7 (dipangkas, angka di belakang koma tidak dianggap/dibuang)
                        = Juli

[WARNING: Rumus konversi di atas adalah rumus yang memiliki akurasi yang rendah, yang tiba-tiba terbesit di pikiran saya saat menulis tulisan ini dan belum banyak saya cek untuk contoh-contoh perhitungan lainnya.]
Jika kita menggunakan Nautical Almanac, maka untuk mempersingkat perhitungan, kita tidak perlu melakukan konversi sampai mengetahui tanggal masehi dari akhir bulan Qamariah yang akan kita hitung. Apa alasannya? karena pada langkah selanjutnya adalah….
B.       Mencari waktu Ijtima
Waktu ijtima’ waktu di saat Matahari dan Bulan berada pada satu garis bujur Astronomi. Dengan kata lain, saat terjadinya ijtima’ atau New Moon, nilai Bujur Ekliptika Matahari dan Bujur Astronomi Bulan bernilai sama. Dari sini kita akan tahu, bahwa untuk dapat menghitung waktu ijtima’, kita harus punya data Bujur Ekliptika Matahari dan Bujur Astronomi Bulan. Sayangnya, data Matahari dan Bulan pada Nautical Almanac hanyalah data-data ekuatorial posisi Matahari dan Bulan. Data ekuatorial ini maksudnya adalah data-data yang mendefinisikan posisi Matahari dan Bulan dalam sistem tata koordinat ekuatorial bola langit, yang terdiri dari data deklinasi dan GHA (Greenwich Hour Angle). Sedangkan data Bujur Ekliptika adalah data ekliptikal yang mendefinisikan posisi Matahari dan Bulan pada sistem koordinat ekliptika bola langit. Karena pada Nautical Almanac tidak ada data ekliptikal, maka kita tidak bisa menghitung waktu ijtima’ menggunakan data dari Nautical Almanac. Sebenarnya, lebih tepatnya adalah dengan Nautical Almanac, kita tidak perlu menghitung waktu ijtima’.
Jika kita menggunakan Nautical Almanac, waktu ijtima’ tidak perlu dihitung karena pada Nautical Almanac telah tersedia tabel “2020 Moon Phases”, fase Bulan tahun 2020 (PDF hal. 15). Di tabel tersebut sudah tertulis tanggal dan bulan Masehi, serta jam GMT untuk semua fase Bulan di tahun 2020. Karena sudah ada tabel fase Bulan perbulan Masehi di tahun 2020 inilah, saya memilih untuk menyederhanakan rumus konversi di perhitungan sebelumnya :D
Pada langkah sebelumnya, kita sudah mendapatkan hasil konversi untuk 29 Dzulqo’dah 1441 H adalah bulan 7 (Juli) 2020. Maka pada kolom tabel New Moon, kita akan melihat bahwa New Moon di bulan Juli 2020 adalah pada tanggal 20 Juli 2020 pukul 17.33 GMT. Untuk merubahnya menjadi jam WIB, jam GMT untuk New Moon tersebut ditambah 7 jam. Maka dengan demikian, Ijtima’ akhir Dzulqo’dah 1441 H adalah pada hari Selasa (lihat kalender di hal. 4) tanggal 21 Juli 2020 pukul 0.33 WIB
C.       Menghitung waktu perkiraan Matahari terbenam (taqribi)
S: Mengapa dalam hisab awal bulan Qamariah, kita harus menghitung waktu Matahari terbenam ?
J : Karena pelaksanaan rukyatul hilal adalah pada saat Matahari terbenam. Penganut aliran rukyatul hilal akan memastikan alat rukyat yang mereka gunakan benar-benar tersetting mengarah ke utara sejati atau posisi hilal sebelum Matahari terbenam. Sehingga saat Matahari terbenam adalah start bagi mereka untuk mengamati hilal. Sedangkan bagi penganut aliran Hisab dan para hasib kalender, keadaan dan posisi hilal saat Matahari terbenam adalah acuan bagi mereka untuk penentuan awal bulan Qamariah yang baru.

S: Mengapa dalam hisab awal bulan Qamariah, kita harus menghitung waktu Matahari terbenam dua kali, yaitu secara taqribi dan haqiqi ? Sedangkan dalam hisab awal waktu Maghrib, kita cukup menghitungnya satu kali ?
J : Kita harus menghitung waktu Matahari terbenam taqribi dan haqiqi, karena dalam hisab awal bulan Qamariah, waktu Matahari terbenam adalah acuan untuk perhitungan posisi hilal. Sehingga ketepatan hasil hisab waktu Matahari terbenam adalah mutlak dibutuhkan, tidak boleh menggunakan toleransi dan tidak boleh melakukan penambahan menit ihtiyat untuk waktu Matahari terbenam dalam hisab awal bulan Qamariah. Berbeda dengan awal waktu Maghrib yang harus dilakukan sejak Matahari terbenam. Penambahan ihtiyat pada hasil hisab waktu Maghrib adalah wajib, dengan maksud untuk memastikan di waktu tersebut Matahari benar-benar sudah terbenam. Dengan kata lain, awal waktu Maghrib tidak harus tepat saat Matahari terbenam tapi harus dilakukan saat Matahari telah benar-benar terbenam. Penambahan ihtiyat 2 menit sudah cukup untuk memastikan hal tersebut.

Itulah dua pertanyaan yang pernah saya dapatkan sekaligus jawaban yang bisa saya utarakan dalam beberapa diskusi dalam tema hisab awal bulan Qamariah.

Baiklah, langsung saja untuk menghitung perkiraan waktu Matahari terbenam menggunakan Nautical Almanac, dibutuhkan data koordinat tempat. Dalam tulisan ini, saya akan menggunakan data koordinat tempat sebagai berikut:
LT      : 7° 25’ 13” LS
BT      : 109° 13’ 09” BT
TT      : 10 mdpl

Metode perhitungan perkiraan waktu Matahari terbenam dengan data Nautical Almanac ini sebenarnya adalah metode yang umumnya digunakan untuk menghitung waktu Matahari terbenam taqribi di kebanyakan sistem hisab kontemporer. Karena metode ini sudah banyak ditulis di buku-buku ilmu falak praktis, maka saya tidak perlu untuk menjelaskannya lagi. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut: 
  • Menghitung kerendahan ufuk (Dip)
Dip     = 0°1,76’ x TT
           = 0°1,76’ x 10
           =  0°5’33,94”
[angka 0°1,76’ pada rumus Dip adalah konstan, TT adalah tinggi tempat lokasi yang saya gunakan]  
  • Menghitung tinggi Matahari terbenam (hg)
hg       = -(Dip + ref + Sd)
           = -(0°5’33,94” + 0°34’ + 0°15,7’)
           = -0°55’15,94”
[nilai refraksi = 0°34’di atas adalah konstanta refraksi untuk seluruh benda langit yang berada di ufuk. Sedangkan 0°15,7’ adalah nilai semidiameter Matahari di tanggal 21 Juli yang didapatkan dari buku Nautical Almanac halaman 153]
  • ·         Menghitung sudut waktu Matahari terbenam taqribi (t)
Dalam perhitungan sudut waktu Matahari terbenam taqribi (t), diperlukan nilai deklinasi Matahari (DM) yang diambil dari Nautical Almanac halaman 153 (2020 July 20 to 22) pukul 18 WIB atau 11 GMT (UT).

S : Kenapa mengambil nilai deklinasi Matahari pada pukul 18 WIB atau 11 GMT (UT)?
J: Karena pukul 18 adalah waktu perkiraan Matahari terbenam. Itu yang sering disebutkan  di beberapa buku. Namun sebenarnya alasannya tidak sesederhana itu. Alasan penggunaan jam 18 sebagai jam pengambilan data deklinasi untuk perhitungan Matahari terbenam taqribi adalah karena secara sistem waktu Solar Time atau jam Matahari (waktu haqiqi) di lintang tempat 0°, Matahari selalu terbenam pada jam 18 atau 6 sore Solar Time (waktu haqiqi). Namun sistem waktu yang kita gunakan dan yang digunakan pada Nautical Almanac adalah waktu daerah bukan Solar Time, dan nilai lintang tempat yang kita gunakan bukanlah 0°.  Inilah yang menyebabkan langkah-langkah perhitungan pada tahapan ini masih disebut perkiraan atau taqribi, karena jam acuan pengambilan datanya masih berdasarkan jam perkiraan waktu Matahari terbenam yang masih “sangat kasar”. Meski demikian, penggunaan acuan jam 18 masih jauh lebih baik daripada penggunaan jam 12 sebagai acuan jam pengambilan data untuk perhitungan Matahari terbenam taqribi.

>> Kembali ke perhitungan Nautical Almanac..
 Berikut ini Screenshot tabel yang kita gunakan. Jangan sampai terbalik dan salah ambil. pada Nautical Almanac halaman 153 (2020 July 20 to 22), tanggal 21 Juli adalah hari selasa (Tuesday) dan tabel datanya terletak di antara 20 – 22 Juli, sehingga tabel yang diambil adalah yang di tengah bagian kiri.

Data yang kita ambil adalah data pada pukul 11, karena data pada Nautical Almanac tersaji dalam sistem waktu UT (LMT pada bujur 0°). Sesuai halaman tersebut, nilai dari deklinasi Matahari adalah N 20°19,7’ atau Matahari berada 20°19,7’ di sebelah Utara ekuator langit. Jika deklinasi Matahari tertulis dengan huruf N (North) maka nilainya adalah positif sedangkan jika tertulis dengan huruf S (South) maka nilainya adalah negatif.
Rumus dan rincian perhitungannya adalah sebagai berikut:
Cos t               = sin hg / cos LT / cos DM - tan LT x tan DM
Cos t               = sin -0°55’15,94” / cos -7° 25’ 13” / cos 20°19,7’ - tan -7° 25’ 13”
   x tan 20°19,7’
t                = 88°13’32,71”
·         Waktu Matahari terbenam taqribi
Dalam perhitungan waktu Matahari terbenam taqribi ini, diperlukan data equation of time untuk mengkonversi Solar time (waktu hakiki) menjadi LMT.
Data equation of time pada Nautical Almanac hanya tersaji 2 data saja pertanggalnya, yaitu pada pukul 0 UT dan 12 UT (di sebelah kanan bawah pada halaman).
 Namun data equation of time yang kita perlukan adalah pada pukul 18 WIB atau 11 UT, hanya selisih 1 jam saja dari data pukul 12 UT. Sehingga menurut saya, tidak perlu melakukan interpolasi data dan langsung saja menggunakan data equation of time pada pukul 12 UT, yaitu -0:6:27.

[Warning:!!]

S: Mengapa tidak langsung saja menggunakan Sun Mer. Pass ?
J: Saya lebih memilih menghitung ulang Sun’s Mer. Pass karena format Sun’s Mer. Pass pada tabel hanya menampilkan jam dan menit saja. Lihat saja pada tabel di atas tanggal 21 Juli, Mer. Pass Matahari pukul 12:06 UT sedangkan nilai Equation of Time -0:6:27. Itu berarti eror maksimal dari tabel Sun’s Mer. Pass bisa mencapai 29 detik! karena pada penulisan data Sun’s Mer. Pass jika detik di bawah 29 detik, akan dihilangkan. Baru ketika detik Equation of time mencapai 30 detik, dilakukan penambahan 1 menit. Hal itu menurut saya akan sangat mengurangi keakurasian hasil. Karena yang akan kita hitung dengan acuan waktu tersebut adalah Waktu Matahari terbenam yang nantinya digunakan untuk menghitung posisi hilal yang kerap cukup rendah (dekat dengan ufuk). Padahal saat ketinggian benda langit rendah (mendekati ufuk), ia akan bergerak cukup cepat menuju ufuk. Maksudnya, tiap menitnya pergantian nilai ketinggiannya akan cukup besar. Sehingga menurut saya mengabaikan sampai 29 detik itu kurang baik.

S: Mengapa nilai equation of time ditulis dengan nilai negatif padahal pada tabel tidak bernilai negatif ?
J : Hal ini disebabkan karena untuk menghitung Sun’s Mer. Pass atau waktu Kulminasi Matahari dalam sistem waktu LMT, rumus yang digunakan adalah 12 – e. Sehingga jika jika nilai Sun’s Mer. Pass pada tabel bernilai lebih dari jam 12, maka equation of time adalah bernilai negatif. sebaliknya jika nilai Sun’s Mer. Pass pada tabel bernilai kurang dari jam 12, maka equation of time bernilai positif. JANGAN SAMPAI TERBALIK !!

>> Kembali ke perhitungan Nautical Almanac..
Maka langsung saja rumus untuk menghitung waktu Matahari terbenam taqribi adalah sebagai berikut:
WGt   = 12 – e + (BD + BT) / 15 + t / 15
           = 12 – -0:6:27 + (105 - 109° 13’ 09”) / 15 + 88°13’52,07” / 15
           = 17:42:28,58 WIB

D.       Menghitung waktu Matahari terbenam yang sebenarnya (haqiqi)
Sebenarnya, perhitungan untuk mencari waktu Matahari terbenam yang sebenarnya (haqiqi) adalah iterasi atau pengulangan perhitungan waktu Matahari terbenam sebelumnya yang masih bersifat perkiraan atau taqribi. Pengulangan ini dilakukan karena pada perhitungan sebelumnya, data Matahari yang digunakan masih berdasarkan pada jam perkiraan Matahari terbenam (yang sangat “kasar”), yaitu jam 18 WIB atau 11 UT. Sebelum melakukan pengulangan perhitungan, maka terlebih dahulu data Matahari yang digunakan diperbarui menggunakan hasil yang sebelumnya sudah kita hitung, yaitu jam perkiraan Matahari terbenam yang sudah “diperhalus”. Data Matahari yang akan diperbarui adalah data deklinasi Matahari saja.

S : Kenapa data equation of time tidak diperbarui juga ?
J : Karena pada Nautical Almanac, data equation of time tersedia dengan interval 12 jam. Selisih data equation of time pada jam 0 dan 12 UT juga hanya 1 detik. Sehingga bagi saya, data tersebut tidak perlu diperbarui. Cukup menggunakan data equation of time sebelumnya, yaitu pada pukul 12 UT = -0:6:27.

>> Untuk memperbarui data deklinasi, kita akan menggunakan rumus interpolasi biasa. seperti berikut ini:
DM’         =A +  (B – A) x C
Karena jam Matahari terbenam taqribi hasil perhitungan sebelumnya 17:42:28,58 WIB atau jam 10:42:28,58 UT, maka data deklinasi pertama (A) diambil dari jam 10 UT dan data deklinasi kedua (B) diambil dari jam 11 UT. Sedangkan nilai C adalah 0:42:28,58 yang merupakan selisih dari jam Matahari taqribi (10:42:28,58 UT) dengan jam data pertama (10 UT).
maka,
DM’         =A +  (B – A) x C
                 = 20°20,2’ + (20°19,7’ - 20°20,2’) x 0:42:28,58
                 = 20°19’ 50,76”
Selanjutnya kita menghitung ulang sudut waktu Matahari terbenam yang sebenarnya dengan data DM’:
Cos t’          = sin hg / cos LT / cos DM’ - tan LT x tan DM’
Cos t’          = sin -0°5’33,94” / cos -7° 25’ 13” / cos 20°19’ 50,76” - tan -7° 25’ 13”
     x tan 20°19’ 50,76”
t’ = 88°13’31,46”
Lalu kita masukkan nilai t’ dalam rumus mencari waktu Matahari terbenam yang sebenarnya:
WGh        = 12 – e + (BD + BT) / 15 + t’ / 15
= 12 – -0:6:27 + (105 - 109° 13’ 09”) / 15 + 88°13’31,46” / 15
                 = 17:42:28,5 WIB
Hasilnya tidak jauh beda dengan waktu perkiraan Matahari terbenam (WDt) karena sebelumnya pada perhitungan WGt, kita sudah menggunakan tinggi Matahari terbenam yang sudah terkoreksi dengan Dip dan sudah langsung menggunakan nilai semidiameter Matahari yang didapatkan dari tabel Nautical Almanac.

E.        Menghitung Arah dan Azimuth Matahari terbenam
Perhitungan arah Matahari terbenamnya di pukul 17:42:28,5 WIB menggunakan rumus berikut:
Cotan       AM     = tan DM’ x cos LT / sin t’ – sin LT / tan t’
Cotan       AM     = tan 20°19’ 50,76” cos -7° 25’ 13”  / sin 88°13’31,46” – sin -7° 25’ 13”  
  / tan 88°13’31,46”
                  AM     = 69°36’54,4” UB
Nilai arah Matahari di atas dapat bernilai positif dan negatif. Jika bernilai positif, maka Arah Matahari tersebut dihitung dari Utara sejati ke arah Barat (UB). Sedangkan jika bernilai negatif, maka Arah Matahari dihitung dari Selatan Sejati ke arah Barat (SB).
Karena nilai dari AM positif, maka rumus untuk menghitung Azimuth Matahari terbenamnya adalah sebagai berikut:
AzM         = 360 – AM
                 = 360 - 69°36’54,4”
                 = 290°23’5,6”

F.        Menghitung Sudut Waktu Hilal
Jika kita sudah terbiasa dengan hisab awal bulan Qamariah dengan menggunakan data ephemeris Kemenag, mungkin kita akan kebingungan dalam perhitungan sudut waktu hilal menggunakan Nautical Almanac. Kenapa ? karena dalam Nautical Almanac, tidak terdapat data Apparent Right Ascension (Asensiorekta) Matahari dan Bulan yang sering digunakan untuk mendapatkan sudut waktu hilal. Namun bukan berarti Nautical Almanac tidak bisa menghitung sudut waktu hilal. Malah justru dengan Nautical Almanac, perhitungan sudut waktu hilal dan benda langit lainnya menjadi lebih ringkas dan mudah. Hal ini disebabkan karena data Equatorial yang ada pada Nautical Almanac (selain data deklinasi) adalah GHA.
GHA adalah Greenwich Hour Angle atau sudut waktu benda langit dengan acuan meridian kota Greenwich. Ini konsep sudut waktu benda langit yang jarang digunakan oleh Falakiyun namun sering digunakan oleh para astronom Barat. Perhatikan gambar di bawah ini:
 
Falakiyun sering mendefinisikan sudut waktu adalah sudut yang terbentuk dari lingkaran Meridian Langit dan lingkaran waktu benda langit. Pada gambar di atas, sudut waktu menurut Falakiyun adalah t. Sedangkan astronom Barat sering mendefinisikan sudut waktu sebagai busur dari lingkaran equator langit (EqL) yang dihitung dari Lingkaran Meridian Langit hingga lingkaran waktu benda langit. Jika acuan Lingkaran Meridian Langit yang dimaksud adalah pada bola langit kota Greenwich, maka busur lingkaran Equator langit itu disebut GHA. Sedangkan jika Lingkaran Meridian Langit tersebut pada bola langit lokasi pengamat di luar Greenwich, maka disebut LHA (Local Hour Angle).

S: Apa hubungan antara GHA/LHA dengan t ?
J: Jika kita perhatikan gambar bola langit di atas, kita akan melihat bahwa t dan GHA/LHA adalah sudut dan busur dari segitiga bola yang saling berhadapan atau berpasangan. Sedangkan dua sudut yang mengapit keduanya sama-sama bernilai 90°. Dua sudut tersebut adalah sudut yang terbentuk dari perpotongan lingkaran meridian langit dengan lingkaran equator langit sedangkan yang satunya adalah sudut yang terbentuk dari perpotongan lingkaran waktu dengan lingkaran equator langit. Dalam kaidah trigonometri bola, jika ada sudut dan busur segitiga bola yang saling berhadapan sedangkan dua sudut pengapitnya bernilai 90°, maka sudut dan busur yang berhadapan tersebut bernilai SAMA. Bahkan jika kita cermati lebih kritis lagi, sebenarnya KHUSUS pada konsep perhitungan sudut waktu hilal, para Falakiyun menggunakan konsep sudut waktu Bulan dan Matahari yang didefinisikan sebagai busur Equator Langit sebagaimana yang kerap digunakan oleh astronom Barat. Namun tidak perlu saya bahas karena akan sangat panjang. Silahkan baca dan analisis sendiri dengan membaca buku Textbook on Spherical Trigonometry karya WM Smart pada pembahasan mengenai hubungan GST (GHA Aries) dengan GHA suatu benda langit dan Right Ascension.

>> Kembali ke perhitungan Nautical Almanac..
untuk menghitung sudut waktu hilal, kita akan menggunakan data GHA Bulan pada tabel Moon di halaman 153.


Rumus yang digunakan adalah rumus interpolasi data dengan nilai A adalah GHA Bulan pada pukul 10 UT dan data B adalah GHA Bulan pada pukul 11 UT. Sedangkan C adalah menit dan detik dari jam Matahari terbenam haqiqi. Rincian perhitungannya adalah sebagai berikut:
GHA Hilal           = A + (B – A) x C
GHA Hilal           = 318°24,3’ + (332°50,2’ - 318°24,3’) x 0:42:28,5
                             = 328°37’18,26”
Nilai GHA di atas adalah sudut waktu hilal dengan acuan Meridian Greenwich. Untuk merubahnya menjadi LHA: jika Bujur Tempat adalah Bujur Timur, maka nilai GHA ditambah dengan nilai Bujur Tempat. Jika Bujur Tempat adalah Bujur Barat, maka nilai GHA dikurangi Bujur Tempat. Dengan demikian:
LHAc                   = GHA Hilal + BT
                             = 328°37’18,26” + 109° 13’ 09”
                             = 437°50’27,26” (Karena lebih dari 360° kurangkan dengan 360°)
                             = 77°50’27,26”

G.       Menghitung Tinggi Geosentrik Hilal (haqiqi)
Tinggi Geosentrik hilal atau biasa diistilahkan dengan tinggi hilal haqiqi adalah ketinggian hilal dengan menggunakan acuan di titik pusat Bumi. Manusia dan semua makhluk hidup lainnya memang berada di permukaan Bumi. Maka sebenarnya ketinggian benda langit yang kita amati adalah ketinggian toposentrik benda langit yaitu dengan acuan ufuk di suatu lokasi pada permukaan Bumi. Namun untuk bisa mendapatkan ketinggian toposentrik suatu benda langit, kita terlebih dahulu harus menghitung tinggi geosentriknya.
Dalam perhitungan tinggi Geosentrik hilal, kita memerlukan data lokasi (Lintang tempat) dan data Bulan (sudut waktu dan deklinasinya). Untuk sudut waktu Bulan, kita akan menggunakan LHA Hilal yang sudah kita hitung sebelumnya. Untuk data deklinasi Bulan, kita perlu melakukan interpolasi data dengan rumus yang lebih sederhana:
DB’          = A + d x C
Keterangan:
DB’          = Deklinasi Bulan pada jam Matahari terbenam haqiqi
A              = Data deklinasi Bulan pada pukul 10 UT
d               = perubahan nilai deklinasi Bulan perjam pada pukul 10 UT, lihat pada tabel
C              = menit dan detik jam Matahari terbenam haqiqi
maka,
DB’          = A + d x C
                 = 21°27,4’ + -0°6,7’ x 0:42:28,5
                 = 21°22’39,41”
Untuk mendapatkan tinggi geosentrik hilal, kita hitung dengan rumus sebagai berikut:
Sin hc         = sin LT x sin DB’ + cos LT x cos DB’ x cos LHAc
Sin hc       = sin -7° 25’ 13” x sin 21°22’39,41” + cos -7° 25’ 13” x cos 21°22’39,41”
   x cos 77°50’27,26”
hc             = 8°28’38,22”

H.       Menghitung Tinggi Hilal Toposentrik (mar’i)
Tinggi Toposentrik hilal atau biasa diistilahkan tinggi hilal mar’i adalah ketinggian hilal dengan menggunakan acuan ufuk pengamat. Untuk merubah tinggi geosentrik hilal menjadi toposentrik, terlebih dahulu kita perlu menghitung koreksi Paralaks dan refraksi.
1)      Koreksi Paralaks
Sederhananya, Paralaks adalah Beda sudut pengamatan ketinggian benda langit antara pengamat di permukaan Bumi (dengan ketinggian 0 mdpl) dengan pengamat di titik pusat Bumi. Koreksi Paralaks akan menyebabkan ketinggian benda langit yang teramati di permukaan Bumi akan lebih rendah dibandingkan dengan acuan titik pusat Bumi. Untuk menghitung koreksi Paralaks dibutuhkan data Horizontal Paralaks Bulan yang bisa didapatkan dari tabel pada Nautical Almanac.

S: Apa bedanya Paralaks dengan Horizontal Paralaks Bulan ?
J: Jadi, Paralaks Bulan dan Horizontal Paralaksnya sebenarnya definisi keduanya mirip, yaitu sama-sama mempunyai arti beda sudut pengamatan ketinggian Bulan antara di permukaan Bumi (dengan ketinggian 0 mdpl) dengan pengamat di titik pusat Bumi. Bedanya adalah Horizontal Paralaks Bulan adalah sudut Paralaks Bulan yang terbesar, yaitu saat Bulan tepat pada horizon (Ufuk). Lihat Gambar di bawah ini

Untuk memahami asal dari rumus Paralaks, kita harus ingat dengan persamaan Sinus pada segitiga planar. Jadi sesuai dengan geometrinya, sebenarnya rumus untuk menghitung koreksi paralaks adalah sebagai berikut:
Sin P = Sin Horizontal Paralaks x Cos Tinggi geosentrik
Harus kita ketahui bahwa Horizontal Paralaks Bulan itu relatif kecil dengan rata-ratanya 0°56’ tetapi bisa mencapai 1° lebih sedikit. Adanya variasi nilai Horizontal Paralaks Bulan disebabkan oleh adanya variasi jarak Bulan ke Bumi. Karena rumus Paralaks di atas dihitung dengan Sinus, dan karena kecilnya nilai Horizontal Paralaks Bulan serta nilai Paralaks Bulan pasti lebih kecil dari Horizontal Paralaksnya, maka rumus di atas dapat disederhanakan dengan membuang dua fungsi sinus. Kenapa sinusnya dibuang ? karena sinus itu adalah fungsi trigonometri yang “tidak peka”, atau kurang “sensitif” saat digunakan untuk menghitung sudut-sudut yang kecil (di bawah 3°). Yang saya maksudkan dengan kurang “sensitif” adalah nilai sudut di bawah 3° jika dihitung dengan sinus, nilainya kurang lebih hampir sama dengan menghitung sudut tersebut dibagi dengan 60. Sehingga untuk menyederhanakan perhitungan, fungsi sinus nya diabaikan. Itulah yang pernah disampaikan oleh Bapak LM Sabri, MT Dosen Geodesi UNDIP yang mengampu Perkuliahan Astronomi Bola saat saya S1.
Sehingga rumus menghitung koreksi Paralaks Bulan sebagaimana yang ada di buku-buku ilmu Falak Praktis menjadi:
P         = Horizontal Paralaks Bulan x Cos Tinggi Geosentriknya

>> Kembali ke perhitungan Nautical Almanac..
Untuk menghitung Koreksi Paralaks Bulan, kita harus melakukan interpolasi data Horizontal Paralaks, karena nilai Horizontal Paralaks yang akan digunakan adalah Horizontal Paralaks Bulan saat Jam Matahari terbenam yang sebenarnya (haqiqi) yaitu pukul 10:42:28,58 UT. Maka nilai Horizontal Paralaks yang terinterpolasi adalah:
HP      = A x (B-A) x C
           = 0°58,5’ x(0°58,5’ - 0°58,5’) x 0:42:28,5
           = 0°58,5’

[Catatan: Jika data pertama dan data kedua bernilai sama, maka sebenarnya kita tidak perlu melakukan interpolasi data. Karena hasilnya pasti akan sama dengan kedua tersebut]
Sehingga koreksi Paralaks Bulan:
P         = HP x Cos hc
           = 0°58,5’ x cos 8°28’38,22”
           = 0°57’51,65”
2)      Koreksi Refraksi
Sederhananya refraksi adalah pembiasan cahaya. Kita perlu menghitung koreksi refraksi karena cahaya Bulan/Hilal akan dibiaskan oleh atmosfer Bumi. Koreksi refraksi menyebabkan posisi Bulan atau benda langit lainnya akan menjauhi horizon atau ufuk, atau dengan kata lain tinggi benda langit tersebut tampak sedikit lebih tinggi. Nilai refraksi terbesar adalah saat benda langit tersebut berada di ufuk, yaitu ref = 0°34’ Sedangkan refraksi terkecil adalah saat benda langit tersebut berada di Zenit, ref = 0°. Karena tinggi geosentrik Bulan (yang sudah kita hitung) tidaklah bernilai 0°, maka refraksinya harus kita hitung dengan rumus: 
maka:
Ref     = (Cotan (hc + 7,31 / (hc +4,4))) /60
atau:
Ref     = 1/(Tan (hc + 7,31 / (hc +4,4))) /60
           = 1/(Tan (8°28’38,22” + 7,31 / (8°28’38,22” +4,4))) /60
           = 0°6’16,91”

[Catatan: Rumus di atas saya tambahkan dengan / 60 karena selamanya nilai Refraksi hanya sampai pada menit busur saja. Agar saat menghitung teman-teman tidak bingung dengan hasilnya, maka langsung rumus tersebut saya tambahi dengan / 60]

Karena dua koreksi (Paralaks dan Refraksi) sudah dihitung, maka kita bisa menghitung nilai tinggi toposentrik dengan rumus sebagai berikut:
hc’      = hc – P +Ref + Dip

S: Kenapa dalam menghitung tinggi toposentrik hilal, diperlukan juga koreksi Dip ?
J: Karena koreksi Paralaks hanya merubah ketinggian benda langit dari acuan horizon titik pusat Bumi (ufuk haqiqi) menjadi ketinggian benda langit dari acuan ufuk untuk pengamat pada ketinggian 0 mdpl (seingat saya, ufuk jenis ini dinamakan ufuk hissi). Sedangkan data koordinat tempat manapun yang digunakan, pasti memiliki tinggi tempat > 0 mdpl. Sehingga diperlukan juga koreksi Dip atau kerendahan ufuk. Karena Semakin tinggi tempat pengamatan, maka ufuk yang terlihat akan semakin turun atau rendah. Hal tersebut akan mengakibatkan tinggi benda langit yang teramati dari tempat yang tinggi akan tampak lebih tinggi daripada yang teramati dari tempat yang rendah.

>> Kembali ke perhitungan Nautical Almanac..
Tinggi toposentrik hilal akhir Dzulqo’dah 1441 pada saat Matahari terbenam haqiqi di lokasi yang kita gunakan adalah:
hc’      = hc – P +Ref + Dip
           = 8°28’38,22” –0°57’51,65” + 0°6’16,91” + 0°5’33,94”
           = 7°42’37,42”
I.          Menghitung Arah dan Azimuth Hilal
Perhitungan arah hilal pada saat Matahari terbenam (pukul 17:42:28,5 WIB) menggunakan rumus berikut:
Cotan AH            = tan DB’ cos LT : sin LHAc – sin LT : tan LHAc
Cotan AH            = tan 21°22’39,26” cos -7° 25’ 13”  / sin 77°50’27,26” – sin -7° 25’ 13”  
                                / tan 77°50’27,26”
                  AH     = 66°58’45,95” UB
Sedangkan nilai Azimuth Hilal adalah:
AzH         = 360 – AH
                 = 360 - 66°58’45,95”
                 = 293°1’14,41”
J.          Menghitung Posisi Hilal dari Posisi Matahari Terbenam
Posisi Hilal dari Posisi Matahari Terbenam dapat diketahui dengan rumus sebagai berikut:
PH            = AzH – AzM
                 = 293°1’14,41” - 290°23’5,6”
                 = 2°38’8,81” Utara Matahari terbenam
[Catatan: Jika PH bernilai Positif, maka Posisi hilal disebelah Utara Posisi Matahari terbenam. Dan jika PH bernilai Negatif, maka Posisi hilal disebelah Selatan Posisi Matahari terbenam]
K.       Menghitung Sudut elongasi Bulan
Sudut Elongasi Bulan adalah sudut yang terbentuk dari garis yang menghubungkan titik pusat Bumi ke Bulan dan garis yang menghubungkan titik pusat Bumi ke Matahari. Sudut Elongasi Bulan erat kaitannya dengan iluminasi Bulan atau besar piringan Bulan yang tersinar oleh Matahari dan terlihat dari Bumi. Dalam kajian awal bulan Qamariah, besar sudut elongasi Bulan mempengaruhi lebar atau ketebalan hilal. Semakin besar nilai sudut elongasinya, maka hilal akan lebih tebal dan lebih mudah dilihat. Sehingga banyak falakiyun maupun astronom yang menggunakan nilai sudut elongasi Bulan sebagai salah satu parameter inti dalam kriteria visibilitas hilal.
Rumus untuk menghitung sudut elongasi Bulan banyak variasinya. Di sini saya akan menggunakan rumus yang paling sederhananya saja:
Cos EB    = cos (hc’ – hg) x cos (PH)
Keterangan:
EB : Elongasi Bulan
hc’ : Tinggi toposentrik hilal
hg : tinggi Matahari terbenam
PH : posisi hilal dari posisi Matahari terbenam

S: Kok rumusnya pendek banget ? Darimana asalnya ?
J : Dari gambar segitiga bola mengenai busur elongasi Bulan yang teramati dari suatu lokasi. Akan saya gambarkan tapi kalian coba ekstrak sendiri rumusnya agar bisa buat latihan memahami trigonometri Bola. Saya kasih clue-nya: rumus yang digunakan adalah persamaan cosinus pada segitiga bola dan sudut di hadapan busur elongasi Bulan adalah senilai 90°. Ini gambarnya:
>> Kembali ke perhitungan Nautical Almanac..
Nilai elongasi Bulan pada akhir Dzulqo’dah 1441 H saat Matahari terbenam di lokasi yang kita gunakan adalah:
Cos EB    = cos (hc’ – hg) x cos (PH)
Cos EB    = cos (7°42’37,42” – -0°55’15,94”) x cos (2°38’8,81”)
EB            = 9°1’19,36”
L.        Menghitung umur Hilal
Umur hilal adalah durasi waktu dari waktu ijtima’ hingga waktu Matahari terbenam (waktu pengamatan hilal). Beberapa kriteria visibilitas hilal klasik menggunakan umur hilal sebagai salah satu parameternya.
UH           = WGh – WIj
= 17:42:28,5 - 0:33
= 17 jam 9 menit 28,5 detik
M.      Menghitung Waktu Hilal terbenam
Di sini saya akan menggunakan rumus yang berbeda dari biasanya. Biasanya untuk mengitung waktu hilal terbenam, kebanyakan teman-teman sering menggunakan rumus menjumlahkan Waktu Matahari terbenam dengan durasi hilal di atas ufuk. Adapun durasi hilal di atas ufuk hanya dengan menghitung tinggi hilal mar’i dibagi dengan 15. Menurut saya itu masih bersifat perkiraan. Hasilnya akan jauh berbeda dengan pengamatan, jika saat itu nilai deklinasi Bulan cukup besar, apalagi jika disertai dengan ketinggian hilal yang cukup tinggi, seperti kondisi hilal di akhir bulan Dzulqo’dah 1441 yang saya gunakan sebagai contoh. Bisa jadi dengan rumus biasanya, hilal sudah dinyatakan terbenam. Namun dalam kenyataan observasinya hilal masih di atas ufuk. Padahal waktu hilal terbenam biasa dijadikan “alarm” untuk segera menyudahi aktifitas rukyatul hilal.
Langkah-langkah yang akan saya gunakan ini khusus untuk para pengguna Nautical Almanac. Dan saya kira hasilnya jauh lebih baik daripada menggunakan rumus yang biasanya teman-teman gunakan.
Perhitungan waktu hilal terbenam ini menggunakan data Moonset pada tabel di Nautical Almanac. Sebagaimana yang dijelaskan pada halaman awal, Moonset atau waktu Bulan terbenam pada tabel tersebut dihitung dengan ketinggian Bulan -0°50’atau -0°10’ (tidak dijelaskan alasannya) dan menggunakan sistem waktu LMT. Tabelisasi data Moonset ini dibuat berdasarkan nilai lintang tempat dengan interval tertentu. Interval maksimal data lintang adalah 10°. Sedangkan interval terkecilnya adalah 2°.
Berbeda dengan data Sunset yang hanya ada satu tabel untuk 3 hari, data Moonset pada Nautical Almanac dibuat perhari. Jadi pada tiap halamannya, ada data Moonset untuk 3 hari. Ini juga merupakan alasan kenapa saya tidak menggunakan data Sunset untuk perhitungan waktu Matahari terbenam tetapi menggunakan Moonset untuk perhitungan waktu Hilal terbenam. 
Untuk menghitung waktu terbenam hilal/Bulan, kita melakukan interpolasi data Moonset. Data pertama adalah Moonset di lintang 0° sedangkan data keduanya adalah Moonset di lintang S 10°(South). Rumus yang kita gunakan:
Ms            = A + (B – A) x C / I
Keterangan:
Ms: Moonset terinterpolasi untuk lintang 7° 25’ 13” LS
A: Data Moonset pertama, yaitu untuk lintang 0°
B: Data Moonset Kedua, yaitu untuk lintang S 10°
C: Selisih antara lintang lokasi kita dengan lintang data pertama (diabsolutkan saja)
I : Interval data Pertama dan kedua (10°)
maka,
Ms            = A + (B – A) x C / I
                 = 19:06 + (18:51 – 19:06) x 7° 25’ 13” / 10°
                 = 18:47:26,96 LMT
untuk merubah Moonset dari sistem waktu LMT menjadi Waktu Daerah (WIB), kita gunakan koreksi waktu daerah
MsWD     = Ms + (BD – BT) /15
                 = 18:47:26,96 + (105° – 109° 13’ 09”)  /15
                 = 18:30:34,36 WIB
Sehingga lama hilal di atas ufuk (Mukts al-hilal) adalah..
Mukts             = MsWD – WGh
                       = 18:30:34,36 - 17:42:28,5
                       = 0 jam 48 menit 5,86 detik

Silahkan bandingkan sendiri antara hasil mukts al-hilal yang kita hitung ini dengan yang biasa teman-teman gunakan. Selisihnya untuk contoh perhitungan ini cukup besar, karena di akhir Dzulqo’dah 1441 H deklinasi Bulan cukup besar.

Jika kalian termasuk orang yang tidak betah berlama-lama melakukan rukyatul hilal, gunakan rumus yang biasanya saja agar kegiatan rukyatul hilal yang kalian ikuti bisa lebih cepat selesai. Tapi jika kalian termasuk “The Real Hilal Hunters” yang ingin berusaha mendapatkan citra hilal sampai detik terakhir Bulan di atas ufuk, maka gunakan rumus yang sudah saya tuliskan di atas :D

Terakhir, saya tuliskan kesimpulan hasil perhitungan akhir bulan Dzulqo’dah 1441 H/awal bulan Dzulhijjah 1441 H:
  •  Data Koordinat Tempat yang digunakan: 
   - LT   : 7° 25’ 13” LS
   - BT   : 109° 13’ 09” BT
   - TT   : 10 mdpl
  • Ijtima’ akhir Bulan Dzulqo’dah 1441 H terjadi pada hari Selasa 21 Juli 2020 M pukul 00:33 WIB 
  • Pada 21 Juli 2020, Matahari terbenam pada pukul 17:42:29 WIB dengan Azimuth Matahari terbenamnya 290°23’5,6” 
  • Tinggi Geosentrik Hilal : 8°28’38,22”
  • Tinggi Toposentrik Hilal : 7°42’37,42” 
  • Azimuth Hilal : 293°1’14,41” 
  • Posisi Hilal : 2°38’8,81” di sebelah Utara Posisi Matahari terbenam 
  • Sudut Elongasi : 9°1’19,36” 
  • Umur Hilal : 17 jam 9 menit 29 detik 
  • Lama Hilal di atas ufuk : 0 jam 48 menit 6 detik 
  • Waktu Hilal terbenam : 18:30:34 WIB

>> Catatan Akhir: 
  •  Jika kalian melihat ada perbedaan antara metode/langkah-langkah penggunaan Nautical Almanac untuk hisab awal bulan Qamariah yang saya gunakan dengan yang digunakan oleh orang lain, maka itu WAJAR. Karena dalam Nautical Almanac tidak terdapat panduan khusus untuk hisab awal bulan Qamariah. Sehingga pengguna Nautical Almanac harus “meracik sendiri” atau mengkombinasikannya dengan langkah-langkah hisab awal bulan Qamariah dari buku-buku ilmu Falak yang pernah ia pelajari. 
  • Jika kalian menggunakan kalkulator dan menemukan perbedaan hasil antara perhitungan yang saya tulis dengan hasil pada kalkulator kalian (pada satuan detik), maka itu juga WAJAR. Karena dalam perhitungan ini, saya menggunakan Ms Excel. Hasil dari masing-masing perhitungan di atas adalah rentetan dari hasil-hasil sebelumnya yang pada awalnya berformat DERAJAT DESIMAL panjang. Bukan menggunakan hasil-hasil perhitungan yang sudah diformatkan dengan tampilan D°M’S” atau H:M:S karena sudah menggunakan pembulatan 2 digit pada desimal detik.
RINGKASAN PERHITUNGAN DAPAT DIUNDUH DI SINI
Wallahu A’lam bi al-Shawab