Para pegiat ilmu falak tentu sudah tidak asing lagi dengan Nautical
Almanac. Buku berformat PDF ini, sebagian besarnya berisi data-data
koordinat equatorial Matahari, Bulan, planet-planet dan bintang-bintang pertahun,
-yang dapat diunduh secara gratis di www.thenauticalalmanac.com. Menjelang
akhir bulan Qamariah atau sebelum pelaksanaan rukyatul hilal, beberapa rekan
kami dari pegiat ilmu falak sering menshare hasil hisab posisi hilal dengan
berbagai metode, salah satunya dengan data-data Nautical Almanac. Hisab
awal bulan Qamariah dengan data-data Nautical Almanac ini tergolong
dalam hisab kontemporer atau tadqiqi karena tingkat akurasinya yang
cukup tinggi.
Saya pribadi termasuk yang suka dengan Nautical Almanac. Dan
jika harus memilih antara menggunakan data Nautical Almanac atau data
dari software WinHisab 2.0 (buatan tahun 1998), saya lebih memilih menggunakan Nautical
Almanac. Saya memiliki tiga alasan:
1)
Nautical
Almanac adalah salah satu alasan mengapa garis
bujur yang melintasi Greenwich dijadikan sebagai acuan Meridian 0o. Silahkan
baca sendiri catatan/laporan konferensi internasional penentuan garis meridian
0o pada tahun 1881 M, saya tuliskan sekelumitnya saja yang saya
masih ingat: Pada sesi akhir konferensi, ada dua kandidat kuat yang akan
dijadikan sebagai acuan acuan Meridian 0o, yaitu kota Greenwich dan
Paris. Keduanya sama-sama memiliki observatorium yang memiliki sumbangsih luar
biasa pada dunia dan setiap tahunnya sama-sama menerbitkan buku hasil
kalkulasi/komputasi posisi benda langit yang banyak digunakan untuk keperluan
navigasi di laut seluruh dunia. Setelah dilakukan survey pengguna Nautical
Almanac (Greenwich) dan Connaisanse des Temps (Paris), ternyata yang
paling banyak digunakan oleh para pelaut adalah Nautical Almanac. Begitu
juga dengan bobot/muatan Kapal Tanker yang berlayar dengan menggunakan
panduan data navigasi dari Nautical Almanac. Sehingga dalam konferensi
internasional penentuan garis meridian 0o, Greenwich terpilih
sebagai kota acuan meridian 0o.
2)
Saya
pernah iseng-iseng menghitung ijtima’ akhir Dzulhijjah 0 H (14 Juli 622 M,
tahun saat Nabi Hijrah) dengan berbagai metode dan software: Algoritma Jean
Meeus, data Winhisab 2.0, dan Accurate Times. Hasilnya, antara Algoritma Jean
Meeus dan Accurate Times hanya memiliki selisih sebesar kurang lebih 2 menit. Sedangkan hasil
hisab ijtima dengan data dari Winhisab 2.0 memiliki selisih lebih dari 1 jam !! saya
ulangi lagi untuk bulan-bulan berikutnya di tahun 1 H. Hasilnya pun demikian,
hisab yang menggunakan data dari software Winhisab 2.0 memiliki selisih 1
jam lebih dari hasil Jean Meeus dan Accurate Times. Saya curiga jangan-jangan dalam coding
Winhisab 2.0, programmernya tidak memasukkan koreksi Delta T (ΔT) untuk
konversi dari sistem jam UT (Universal Time) menjadi sistem jam TD (Dynamical
Time) atau istilah jadulnya sistem jam ET (Ephemeris Time). Kebetulan saat di
tahun 1 H/622 M, nilai dari koreksi ΔT adalah sebesar > 1 jam. Saya pernah guyon
dengan teman-teman di Padepokan Al-Biruni Semarang, jangan-jangan ini
karena sayyidina Ali tidak mau menyalip orang tua saat berjalan ke masjid
untuk salat subuh berjamaah bersama Kanjeng Nabi. Atas izin Allah,
Matahari diperlambat untuk terbit sehingga beliau masih bisa ikut salat
berjamaah. perlu diketahui bahwa ΔT adalah perbedaan sistem waktu UT (yang
baku) yang kita gunakan dengan kecepatan rotasi Bumi yang kadang mempercepat
dan kadang melambat. Menurut kisahnya, “Allah memperlambat terbitnya Matahari”
itu kan sama dengan melambatnya rotasi Bumi. Tapi yang jadi
pertanyaannya, kok sampai 1 jam ? masa kanjeng Nabi ditahan oleh
Malaikat Jibril agar tetap ruku’ sampai 1 jam lebih sampai sayyidina Ali
ikut salat? Wallahu a’lam.:D Oh ya, jangan dibingungkan antara ΔT
dengan Equation of Time. Equation of Time itu koreksi waktu akibat kemiringan
bidang ekliptika dari ekuator Bumi (berikut efek variasi kecepatan revolusi
Bumi: Hukum Kepler II) yang sekaligus juga dipengaruhi oleh gerak nutasi Bumi.
3)
Alasan
terakhirnya, saya pernah melakukan penelitian dengan teknik observasi untuk
makalah komprehensif S2 saya yang berjudul “Reformulasi Algoritma Hisab Posisi
Bintang Penanda Awal Waktu Isya dan Subuh”. Observasi yang saya lakukan adalah membandingkan
data altitude dan azimuth bintang hasil reformulasi algoritma yang saya lakukan
dengan pengamatan bintang tersebut saat Isya dan Subuh. Acuan data koordinat
equatorial bintang yang saya gunakan bersumber dari Nautical Almanac dan
Nautical Almanac of the Stars, 2 Buku yang dipublish lewat www.thenauticalalmanac.com.
Hasilnya, hanya selisih sedikit. Dan meskipun tidak tepat di
tengah theodolite’s scope, bintang tersebut masih terbidik. Perlu diketahui bahwa theodolite’s
scope itu punya pembesaran yang lumayan besar tetapi medan pandangnya cukup sempit.
Jadi jika bintang yang terlihat hanya titik kecil putih masih bisa terbidik
lewat theodolite’s scope, maka data yang saya gunakan dari Nautical
Almanac itu bisa dibilang akurat! Reformulasi algoritma yang saya lakukan
jadi ikutan terbukti akurat juga. hehehe. Makalah kompre saya masih
dalam proses penerjemahan ke dalam bahasa Inggris agar bisa dimuat di Jurnal
Al-Hilal UIN Walisongo. Nanti jika sudah dipublish, silahkan dibaca
Baik, Saya cukupkan untuk prolognya.
Saat teman-teman ingin mencoba menghitung posisi hilal menggunakan
data-data dari Nautical Almanac, maka harus disiapkan dahulu buku Nautical
Almanac. Seperti yang sudah saya singgung di prolog, lewat website www.thenauticalalmanac.com HMNAO
(Her Magesty Nautical Almanac Office) menerbitkan dua buku: The Nautical
Almanac dan Nautical Almanac of the Stars. untuk keperluan
hisab awal bulan Qamariah, yang akan teman-teman gunakan adalah buku Nautical
Almanac 2020 (tahun ini) bukan yang berjudul Nautical Almanac of
the Stars. Di bawah ini cover dari Nautical Almanac 2020
Dalam tulisan ini, saya akan menggunakan contoh hisab awal bulan
Dzulhijjah 1441 H/akhir bulan Dzulqo’dah 1441 H. Langkah-langkah hisab awal
bulan Qamariah dengan menggunakan data-data Nautical Almanac adalah
sebagai berikut:
A.
Konversi tanggal 29 Dzulqodah 1441 H ke kalender Masehi
Langkah awal
kita adalah melakukan konversi dari kalender Hijriah ke Masehi. Hal ini
dilakukan karena Nautical Almanac menyediakan data-data Matahari dan
Bulan perjam dan pertanggal kalender Masehi, bukan Qamariah/Hijriah. Sebenarnya
tanpa melakukan konversi kalender pun bisa. Karena saat Nautical Almanac
2020 diterbitkan, kita sudah pasti punya kalender tahun 2020. Konversinya tidak
perlu dihitung, cukup dengan melihat kalender saja. :D Berbeda jika kita
menggunakan data Matahari dan Bulan dari software yang bisa disetting
jauh sebelum atau sesudah tahun 2020, yang kemungkinan besar kita tidak
memiliki kalender tersebut. :D Tapi jika harus dihitung, maka saya berikan
rumus konversi konversi kalender yang cukup simple khusus untuk pengguna Nautical
Almanac:
JHM = THTam x 354,3670139 + NAB x 29,53058 +
227016 + 13
Keterangan:
JHM : Jumlah Hari pada kalender Masehi
THTam :
Tahun Hijriah Tam sebelumnya, pada contoh ini nilai THTam adalah 1440
NAB : nomor akhir bulan hijriah, pada contoh
ini nilai NAB adalah 11 (Dzulqo’dah)
227016 :
Selisih kalender Masehi dan Hijriah. Maksudnya adalah jumlah hari dari awal
kalender Masehi (1 Januari 1 M) sampai awal kalender Hijriah (1 Muharram 1 H)
adalah 227016 hari
13 :
koreksi gregorius untuk tanggal 1 Maret 1900 sampai 28 Februari 2100
Maka:
JHM =
1440 x 354,3670139 + 11 x 29,53058 + 227016 + 13
= 737642 hari (jika angka di belakang
koma >= 5, maka dibulatkan +1)
Tahun
Masehi hasil konversinya:
TM = JHM : 365,25 + 1
= 737642 : 365,25 + 1
= 2020 (dipangkas, angka di belakang
koma tidak dianggap/dibuang)
Bulan
Masehi hasil konversinya:
BM = (JHM : 365,25 + 1 -TM) x 12 + 1
=
(737642 : 365,25 + 1 -2020) x 12 +1
= 7 (dipangkas, angka di belakang
koma tidak dianggap/dibuang)
= Juli
[WARNING: Rumus
konversi di atas adalah rumus yang memiliki akurasi yang rendah, yang tiba-tiba
terbesit di pikiran saya saat menulis tulisan ini dan belum banyak saya cek
untuk contoh-contoh perhitungan lainnya.]
Jika kita menggunakan Nautical Almanac, maka untuk
mempersingkat perhitungan, kita tidak perlu melakukan konversi sampai
mengetahui tanggal masehi dari akhir bulan Qamariah yang akan kita hitung. Apa
alasannya? karena pada langkah selanjutnya adalah….
B. Mencari waktu Ijtima
Waktu ijtima’ waktu di saat Matahari
dan Bulan berada pada satu garis bujur Astronomi. Dengan kata lain, saat
terjadinya ijtima’ atau New Moon, nilai Bujur Ekliptika Matahari dan Bujur
Astronomi Bulan bernilai sama. Dari sini kita akan tahu, bahwa untuk dapat
menghitung waktu ijtima’, kita harus punya data Bujur Ekliptika Matahari dan
Bujur Astronomi Bulan. Sayangnya, data Matahari dan Bulan pada Nautical
Almanac hanyalah data-data ekuatorial posisi Matahari dan Bulan. Data
ekuatorial ini maksudnya adalah data-data yang mendefinisikan posisi Matahari
dan Bulan dalam sistem tata koordinat ekuatorial bola langit, yang terdiri dari
data deklinasi dan GHA (Greenwich Hour Angle). Sedangkan data Bujur
Ekliptika adalah data ekliptikal yang mendefinisikan posisi Matahari dan Bulan
pada sistem koordinat ekliptika bola langit. Karena pada Nautical Almanac
tidak ada data ekliptikal, maka kita tidak bisa menghitung waktu ijtima’
menggunakan data dari Nautical Almanac. Sebenarnya, lebih tepatnya
adalah dengan Nautical Almanac, kita tidak perlu menghitung waktu
ijtima’.
Jika kita menggunakan Nautical
Almanac, waktu ijtima’ tidak perlu dihitung karena pada Nautical Almanac
telah tersedia tabel “2020 Moon Phases”, fase Bulan tahun 2020 (PDF hal.
15). Di tabel tersebut sudah tertulis tanggal dan bulan Masehi, serta jam GMT untuk
semua fase Bulan di tahun 2020. Karena sudah ada tabel fase Bulan perbulan
Masehi di tahun 2020 inilah, saya memilih untuk menyederhanakan rumus konversi
di perhitungan sebelumnya :D
Pada langkah sebelumnya, kita sudah
mendapatkan hasil konversi untuk 29 Dzulqo’dah 1441 H adalah bulan 7 (Juli)
2020. Maka pada kolom tabel New Moon, kita akan melihat bahwa New Moon di bulan
Juli 2020 adalah pada tanggal 20 Juli 2020 pukul 17.33 GMT. Untuk merubahnya
menjadi jam WIB, jam GMT untuk New Moon tersebut ditambah 7 jam. Maka dengan
demikian, Ijtima’ akhir Dzulqo’dah 1441 H adalah pada hari Selasa (lihat
kalender di hal. 4) tanggal 21 Juli 2020 pukul 0.33 WIB
C. Menghitung waktu perkiraan Matahari terbenam (taqribi)
S: Mengapa dalam hisab awal bulan Qamariah, kita harus menghitung waktu
Matahari terbenam ?
J : Karena pelaksanaan rukyatul hilal adalah pada saat Matahari
terbenam. Penganut aliran rukyatul hilal akan memastikan alat rukyat yang
mereka gunakan benar-benar tersetting mengarah ke utara sejati atau posisi
hilal sebelum Matahari terbenam. Sehingga saat Matahari terbenam adalah start
bagi mereka untuk mengamati hilal. Sedangkan bagi penganut aliran Hisab dan
para hasib kalender, keadaan dan posisi hilal saat Matahari terbenam adalah acuan
bagi mereka untuk penentuan awal bulan Qamariah yang baru.
S: Mengapa dalam hisab awal bulan Qamariah, kita harus menghitung
waktu Matahari terbenam dua kali, yaitu secara taqribi dan haqiqi ? Sedangkan
dalam hisab awal waktu Maghrib, kita cukup menghitungnya satu kali ?
J : Kita harus menghitung waktu Matahari terbenam taqribi
dan haqiqi, karena dalam hisab awal bulan Qamariah, waktu Matahari
terbenam adalah acuan untuk perhitungan posisi hilal. Sehingga ketepatan hasil
hisab waktu Matahari terbenam adalah mutlak dibutuhkan, tidak boleh menggunakan
toleransi dan tidak boleh melakukan penambahan menit ihtiyat untuk waktu
Matahari terbenam dalam hisab awal bulan Qamariah. Berbeda dengan awal waktu
Maghrib yang harus dilakukan sejak Matahari terbenam. Penambahan ihtiyat pada
hasil hisab waktu Maghrib adalah wajib, dengan maksud untuk memastikan di waktu
tersebut Matahari benar-benar sudah terbenam. Dengan kata lain, awal waktu
Maghrib tidak harus tepat saat Matahari terbenam tapi harus dilakukan saat
Matahari telah benar-benar terbenam. Penambahan ihtiyat 2 menit sudah cukup
untuk memastikan hal tersebut.
Itulah dua pertanyaan yang pernah
saya dapatkan sekaligus jawaban yang bisa saya utarakan dalam beberapa diskusi
dalam tema hisab awal bulan Qamariah.
Baiklah, langsung saja untuk
menghitung perkiraan waktu Matahari terbenam menggunakan Nautical Almanac,
dibutuhkan data koordinat tempat. Dalam tulisan ini, saya akan menggunakan data
koordinat tempat sebagai berikut:
LT : 7° 25’ 13” LS
BT : 109° 13’ 09” BT
TT : 10 mdpl
Metode perhitungan
perkiraan waktu Matahari terbenam dengan data Nautical Almanac ini
sebenarnya adalah metode yang umumnya digunakan untuk menghitung waktu Matahari
terbenam taqribi di kebanyakan sistem hisab kontemporer. Karena metode
ini sudah banyak ditulis di buku-buku ilmu falak praktis, maka saya tidak perlu
untuk menjelaskannya lagi. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
- Menghitung kerendahan ufuk (Dip)
Dip = 0°1,76’ x √TT
= 0°1,76’ x √10
=
0°5’33,94”
[angka 0°1,76’ pada rumus Dip adalah konstan, TT adalah tinggi tempat lokasi
yang saya gunakan]
- Menghitung tinggi Matahari terbenam (hg)
hg = -(Dip + ref + Sd)
= -(0°5’33,94” + 0°34’
+ 0°15,7’)
= -0°55’15,94”
[nilai refraksi
= 0°34’di atas adalah konstanta refraksi untuk seluruh benda langit
yang berada di ufuk. Sedangkan 0°15,7’ adalah nilai semidiameter Matahari di tanggal 21 Juli yang
didapatkan dari buku Nautical Almanac halaman 153]
- · Menghitung sudut waktu Matahari terbenam taqribi (t)
Dalam
perhitungan sudut waktu Matahari terbenam taqribi (t), diperlukan nilai
deklinasi Matahari (DM) yang diambil dari Nautical Almanac halaman 153
(2020 July 20 to 22) pukul 18 WIB atau 11 GMT (UT).
S : Kenapa
mengambil nilai deklinasi Matahari pada pukul 18 WIB atau 11 GMT (UT)?
J: Karena pukul
18 adalah waktu perkiraan Matahari terbenam. Itu yang sering disebutkan di beberapa buku. Namun sebenarnya alasannya
tidak sesederhana itu. Alasan penggunaan jam 18 sebagai jam pengambilan data
deklinasi untuk perhitungan Matahari terbenam taqribi adalah karena
secara sistem waktu Solar Time atau jam Matahari (waktu haqiqi) di
lintang tempat 0°, Matahari
selalu terbenam pada jam 18 atau 6 sore Solar Time (waktu haqiqi).
Namun sistem waktu yang kita gunakan dan yang digunakan pada Nautical
Almanac adalah waktu daerah bukan Solar Time, dan nilai lintang
tempat yang kita gunakan bukanlah 0°. Inilah yang menyebabkan
langkah-langkah perhitungan pada tahapan ini masih disebut perkiraan atau taqribi,
karena jam acuan pengambilan datanya masih berdasarkan jam perkiraan waktu
Matahari terbenam yang masih “sangat kasar”. Meski demikian, penggunaan acuan
jam 18 masih jauh lebih baik daripada penggunaan jam 12 sebagai acuan jam
pengambilan data untuk perhitungan Matahari terbenam taqribi.
>> Kembali ke perhitungan Nautical Almanac..
Berikut ini Screenshot tabel yang kita
gunakan. Jangan sampai terbalik dan salah ambil. pada Nautical Almanac
halaman 153 (2020 July 20 to 22), tanggal 21 Juli adalah hari selasa (Tuesday)
dan tabel datanya terletak di antara 20 – 22 Juli, sehingga tabel yang diambil
adalah yang di tengah bagian kiri.
Data
yang kita ambil adalah data pada pukul 11, karena data pada Nautical Almanac
tersaji dalam sistem waktu UT (LMT pada bujur 0°). Sesuai halaman tersebut, nilai dari deklinasi Matahari adalah N
20°19,7’ atau Matahari berada 20°19,7’ di sebelah Utara ekuator langit. Jika deklinasi Matahari
tertulis dengan huruf N (North) maka nilainya adalah positif sedangkan jika
tertulis dengan huruf S (South) maka nilainya adalah negatif.
Rumus dan
rincian perhitungannya adalah sebagai berikut:
Cos t =
sin hg / cos LT / cos DM - tan LT x tan DM
Cos t = sin -0°55’15,94” / cos -7° 25’ 13” / cos 20°19,7’ - tan -7° 25’
13”
x tan 20°19,7’
t =
88°13’32,71”
·
Waktu
Matahari terbenam taqribi
Dalam
perhitungan waktu Matahari terbenam taqribi ini, diperlukan data equation
of time untuk mengkonversi Solar time (waktu hakiki) menjadi LMT.
Data
equation of time pada Nautical Almanac hanya tersaji 2 data saja
pertanggalnya, yaitu pada pukul 0 UT dan 12 UT (di sebelah kanan bawah pada halaman).
Namun data equation of time yang kita
perlukan adalah pada pukul 18 WIB atau 11 UT, hanya selisih 1 jam saja dari
data pukul 12 UT. Sehingga menurut saya, tidak perlu melakukan interpolasi data
dan langsung saja menggunakan data equation of time pada pukul 12 UT,
yaitu -0:6:27.
[Warning:!!]
S:
Mengapa tidak langsung saja menggunakan Sun Mer. Pass ?
J: Saya lebih
memilih menghitung ulang Sun’s Mer. Pass karena format Sun’s Mer.
Pass pada tabel hanya menampilkan jam dan menit saja. Lihat saja pada tabel
di atas tanggal 21 Juli, Mer. Pass Matahari pukul 12:06 UT sedangkan nilai Equation
of Time -0:6:27. Itu berarti eror maksimal dari tabel Sun’s Mer. Pass bisa
mencapai 29 detik! karena pada penulisan data Sun’s Mer. Pass jika detik
di bawah 29 detik, akan dihilangkan. Baru ketika detik Equation of time mencapai
30 detik, dilakukan penambahan 1 menit. Hal itu menurut saya akan sangat
mengurangi keakurasian hasil. Karena yang akan kita hitung dengan acuan waktu
tersebut adalah Waktu Matahari terbenam yang nantinya digunakan untuk
menghitung posisi hilal yang kerap cukup rendah (dekat dengan ufuk). Padahal saat
ketinggian benda langit rendah (mendekati ufuk), ia akan bergerak cukup cepat
menuju ufuk. Maksudnya, tiap menitnya pergantian nilai ketinggiannya akan cukup
besar. Sehingga menurut saya mengabaikan sampai 29 detik itu kurang baik.
S:
Mengapa nilai equation of time ditulis dengan nilai negatif padahal pada tabel
tidak bernilai negatif ?
J : Hal ini
disebabkan karena untuk menghitung Sun’s Mer. Pass atau waktu Kulminasi
Matahari dalam sistem waktu LMT, rumus yang digunakan adalah 12 – e.
Sehingga jika jika nilai Sun’s Mer. Pass pada tabel bernilai lebih
dari jam 12, maka equation of time adalah bernilai negatif.
sebaliknya jika nilai Sun’s Mer. Pass pada tabel bernilai kurang dari
jam 12, maka equation of time bernilai positif. JANGAN SAMPAI
TERBALIK !!
>> Kembali ke perhitungan Nautical Almanac..
Maka
langsung saja rumus untuk menghitung waktu Matahari terbenam taqribi adalah
sebagai berikut:
WGt = 12 – e + (BD + BT) / 15 + t / 15
= 12 – -0:6:27 + (105 - 109° 13’ 09”) / 15 + 88°13’52,07”
/ 15
= 17:42:28,58 WIB
D. Menghitung waktu Matahari terbenam yang sebenarnya (haqiqi)
Sebenarnya, perhitungan untuk
mencari waktu Matahari terbenam yang sebenarnya (haqiqi) adalah iterasi
atau pengulangan perhitungan waktu Matahari terbenam sebelumnya yang masih
bersifat perkiraan atau taqribi. Pengulangan ini dilakukan karena pada
perhitungan sebelumnya, data Matahari yang digunakan masih berdasarkan pada jam
perkiraan Matahari terbenam (yang sangat “kasar”), yaitu jam 18 WIB atau 11 UT.
Sebelum melakukan pengulangan perhitungan, maka terlebih dahulu data Matahari
yang digunakan diperbarui menggunakan hasil yang sebelumnya sudah kita hitung,
yaitu jam perkiraan Matahari terbenam yang sudah “diperhalus”. Data Matahari
yang akan diperbarui adalah data deklinasi Matahari saja.
S : Kenapa data equation of time tidak diperbarui juga ?
J : Karena pada Nautical Almanac, data equation of time tersedia
dengan interval 12 jam. Selisih data equation of time pada jam 0 dan 12
UT juga hanya 1 detik. Sehingga bagi saya, data tersebut tidak perlu
diperbarui. Cukup menggunakan data equation of time sebelumnya, yaitu
pada pukul 12 UT = -0:6:27.
>> Untuk memperbarui data deklinasi, kita akan menggunakan rumus
interpolasi biasa. seperti berikut ini:
DM’ =A + (B – A) x C
Karena jam Matahari terbenam taqribi
hasil perhitungan sebelumnya 17:42:28,58
WIB atau jam 10:42:28,58 UT, maka data deklinasi pertama (A) diambil dari jam
10 UT dan data deklinasi kedua (B) diambil dari jam 11 UT. Sedangkan nilai C
adalah 0:42:28,58 yang merupakan selisih dari jam Matahari taqribi (10:42:28,58
UT) dengan jam data pertama (10 UT).
maka,
DM’ =A + (B – A) x C
= 20°20,2’ + (20°19,7’
- 20°20,2’) x 0:42:28,58
= 20°19’ 50,76”
Selanjutnya kita menghitung ulang
sudut waktu Matahari terbenam yang sebenarnya dengan data DM’:
Cos t’ = sin hg / cos LT / cos DM’ - tan LT x tan DM’
Cos t’ = sin -0°5’33,94” / cos -7° 25’ 13” / cos 20°19’ 50,76” - tan -7°
25’ 13”
x tan 20°19’ 50,76”
t’ =
88°13’31,46”
Lalu kita masukkan nilai t’ dalam
rumus mencari waktu Matahari terbenam yang sebenarnya:
WGh = 12 – e + (BD + BT) / 15 + t’ / 15
= 12 – -0:6:27
+ (105 - 109° 13’ 09”) / 15
+ 88°13’31,46” / 15
= 17:42:28,5 WIB
Hasilnya tidak jauh beda dengan waktu
perkiraan Matahari terbenam (WDt) karena sebelumnya pada perhitungan WGt, kita
sudah menggunakan tinggi Matahari terbenam yang sudah terkoreksi dengan Dip dan
sudah langsung menggunakan nilai semidiameter Matahari yang didapatkan dari tabel
Nautical Almanac.
E.
Menghitung
Arah dan Azimuth Matahari terbenam
Perhitungan arah Matahari
terbenamnya di pukul 17:42:28,5 WIB menggunakan rumus berikut:
Cotan AM = tan DM’ x cos LT / sin t’ – sin LT / tan t’
Cotan AM = tan 20°19’ 50,76” cos -7° 25’ 13” / sin 88°13’31,46” –
sin -7° 25’ 13”
/ tan 88°13’31,46”
AM = 69°36’54,4” UB
Nilai arah Matahari di atas dapat
bernilai positif dan negatif. Jika bernilai positif, maka Arah Matahari
tersebut dihitung dari Utara sejati ke arah Barat (UB). Sedangkan jika bernilai
negatif, maka Arah Matahari dihitung dari Selatan Sejati ke arah Barat (SB).
Karena nilai dari AM positif, maka rumus untuk menghitung Azimuth
Matahari terbenamnya adalah sebagai berikut:
AzM = 360 – AM
= 360 - 69°36’54,4”
= 290°23’5,6”
F.
Menghitung
Sudut Waktu Hilal
Jika kita sudah terbiasa dengan hisab
awal bulan Qamariah dengan menggunakan data ephemeris Kemenag, mungkin kita
akan kebingungan dalam perhitungan sudut waktu hilal menggunakan Nautical
Almanac. Kenapa ? karena dalam Nautical Almanac, tidak terdapat data
Apparent Right Ascension (Asensiorekta) Matahari dan Bulan yang sering
digunakan untuk mendapatkan sudut waktu hilal. Namun bukan berarti Nautical
Almanac tidak bisa menghitung sudut waktu hilal. Malah justru dengan Nautical
Almanac, perhitungan sudut waktu hilal dan benda langit lainnya menjadi
lebih ringkas dan mudah. Hal ini disebabkan karena data Equatorial yang ada
pada Nautical Almanac (selain data deklinasi) adalah GHA.
Falakiyun sering mendefinisikan sudut waktu adalah sudut yang terbentuk dari lingkaran
Meridian Langit dan lingkaran waktu benda langit. Pada gambar di atas, sudut
waktu menurut Falakiyun adalah t. Sedangkan astronom Barat sering
mendefinisikan sudut waktu sebagai busur dari lingkaran equator langit (EqL) yang
dihitung dari Lingkaran Meridian Langit hingga lingkaran waktu benda langit. Jika
acuan Lingkaran Meridian Langit yang dimaksud adalah pada bola langit kota
Greenwich, maka busur lingkaran Equator langit itu disebut GHA. Sedangkan jika
Lingkaran Meridian Langit tersebut pada bola langit lokasi pengamat di luar
Greenwich, maka disebut LHA (Local Hour Angle).
S: Apa hubungan antara GHA/LHA dengan t ?
J: Jika kita perhatikan gambar bola langit di atas, kita akan
melihat bahwa t dan GHA/LHA adalah sudut dan busur dari segitiga bola yang
saling berhadapan atau berpasangan. Sedangkan dua sudut yang mengapit keduanya sama-sama
bernilai 90°. Dua sudut
tersebut adalah sudut yang terbentuk dari perpotongan lingkaran meridian langit
dengan lingkaran equator langit sedangkan yang satunya adalah sudut yang
terbentuk dari perpotongan lingkaran waktu dengan lingkaran equator langit. Dalam
kaidah trigonometri bola, jika ada sudut dan busur segitiga bola yang saling
berhadapan sedangkan dua sudut pengapitnya bernilai 90°, maka sudut dan busur yang berhadapan tersebut bernilai SAMA. Bahkan
jika kita cermati lebih kritis lagi, sebenarnya KHUSUS pada konsep perhitungan sudut
waktu hilal, para Falakiyun menggunakan konsep sudut waktu Bulan dan
Matahari yang didefinisikan sebagai busur Equator Langit sebagaimana yang kerap
digunakan oleh astronom Barat. Namun tidak perlu saya bahas karena akan sangat
panjang. Silahkan baca dan analisis sendiri dengan membaca buku Textbook on
Spherical Trigonometry karya WM Smart pada pembahasan mengenai hubungan GST
(GHA Aries) dengan GHA suatu benda langit dan Right Ascension.
>> Kembali ke perhitungan Nautical Almanac..
untuk menghitung sudut waktu hilal, kita
akan menggunakan data GHA Bulan pada tabel Moon di halaman 153.
Rumus yang digunakan adalah rumus interpolasi data dengan nilai A adalah GHA Bulan pada pukul 10 UT dan data B adalah GHA Bulan pada pukul 11 UT. Sedangkan C adalah menit dan detik dari jam Matahari terbenam haqiqi. Rincian perhitungannya adalah sebagai berikut:
Rumus yang digunakan adalah rumus interpolasi data dengan nilai A adalah GHA Bulan pada pukul 10 UT dan data B adalah GHA Bulan pada pukul 11 UT. Sedangkan C adalah menit dan detik dari jam Matahari terbenam haqiqi. Rincian perhitungannya adalah sebagai berikut:
GHA Hilal = A + (B –
A) x C
GHA Hilal = 318°24,3’ + (332°50,2’
- 318°24,3’) x 0:42:28,5
=
328°37’18,26”
Nilai GHA di atas adalah sudut waktu
hilal dengan acuan Meridian Greenwich. Untuk merubahnya menjadi LHA: jika Bujur
Tempat adalah Bujur Timur, maka nilai GHA ditambah dengan nilai Bujur Tempat.
Jika Bujur Tempat adalah Bujur Barat, maka nilai GHA dikurangi Bujur Tempat.
Dengan demikian:
LHAc = GHA Hilal + BT
=
328°37’18,26” + 109° 13’
09”
=
437°50’27,26” (Karena lebih dari 360° kurangkan dengan 360°)
=
77°50’27,26”
G. Menghitung Tinggi Geosentrik Hilal (haqiqi)
Tinggi Geosentrik hilal atau biasa
diistilahkan dengan tinggi hilal haqiqi adalah ketinggian hilal dengan
menggunakan acuan di titik pusat Bumi. Manusia dan semua makhluk hidup lainnya
memang berada di permukaan Bumi. Maka sebenarnya ketinggian benda langit yang
kita amati adalah ketinggian toposentrik benda langit yaitu dengan acuan ufuk di
suatu lokasi pada permukaan Bumi. Namun untuk bisa mendapatkan ketinggian
toposentrik suatu benda langit, kita terlebih dahulu harus menghitung tinggi
geosentriknya.
Dalam perhitungan tinggi Geosentrik hilal, kita memerlukan data
lokasi (Lintang tempat) dan data Bulan (sudut waktu dan deklinasinya). Untuk
sudut waktu Bulan, kita akan menggunakan LHA Hilal yang sudah kita hitung
sebelumnya. Untuk data deklinasi Bulan, kita perlu melakukan interpolasi data
dengan rumus yang lebih sederhana:
DB’ = A + d x C
Keterangan:
DB’ = Deklinasi Bulan
pada jam Matahari terbenam haqiqi
A = Data
deklinasi Bulan pada pukul 10 UT
d = perubahan
nilai deklinasi Bulan perjam pada pukul 10 UT, lihat pada tabel
maka,
DB’ = A + d x C
= 21°27,4’ + -0°6,7’
x 0:42:28,5
= 21°22’39,41”
Untuk mendapatkan tinggi geosentrik
hilal, kita hitung dengan rumus sebagai berikut:
Sin hc = sin LT x sin DB’ + cos LT x cos DB’ x cos LHAc
Sin hc = sin -7° 25’ 13” x sin 21°22’39,41” + cos -7° 25’ 13” x cos 21°22’39,41”
x cos 77°50’27,26”
hc = 8°28’38,22”
H. Menghitung Tinggi Hilal Toposentrik (mar’i)
Tinggi Toposentrik hilal atau biasa
diistilahkan tinggi hilal mar’i adalah ketinggian hilal dengan
menggunakan acuan ufuk pengamat. Untuk merubah tinggi geosentrik hilal menjadi
toposentrik, terlebih dahulu kita perlu menghitung koreksi Paralaks dan refraksi.
1)
Koreksi
Paralaks
Sederhananya, Paralaks adalah Beda sudut pengamatan ketinggian benda
langit antara pengamat di permukaan Bumi (dengan ketinggian 0 mdpl) dengan pengamat
di titik pusat Bumi. Koreksi Paralaks akan menyebabkan ketinggian benda langit
yang teramati di permukaan Bumi akan lebih rendah dibandingkan dengan acuan
titik pusat Bumi. Untuk menghitung koreksi Paralaks dibutuhkan data Horizontal
Paralaks Bulan yang bisa didapatkan dari tabel pada Nautical Almanac.
S: Apa bedanya
Paralaks dengan Horizontal Paralaks Bulan ?
J: Jadi,
Paralaks Bulan dan Horizontal Paralaksnya sebenarnya definisi keduanya mirip,
yaitu sama-sama mempunyai arti beda sudut pengamatan ketinggian Bulan antara di
permukaan Bumi (dengan ketinggian 0 mdpl) dengan pengamat di titik pusat Bumi.
Bedanya adalah Horizontal Paralaks Bulan adalah sudut Paralaks Bulan yang terbesar,
yaitu saat Bulan tepat pada horizon (Ufuk). Lihat Gambar di bawah ini
Untuk memahami asal dari rumus Paralaks, kita harus ingat dengan
persamaan Sinus pada segitiga planar. Jadi sesuai dengan geometrinya,
sebenarnya rumus untuk menghitung koreksi paralaks adalah sebagai berikut:
Sin P = Sin
Horizontal Paralaks x Cos Tinggi geosentrik
Harus kita ketahui bahwa Horizontal Paralaks Bulan itu relatif
kecil dengan rata-ratanya 0°56’
tetapi bisa mencapai 1° lebih
sedikit. Adanya variasi nilai Horizontal Paralaks Bulan disebabkan oleh adanya
variasi jarak Bulan ke Bumi. Karena rumus Paralaks di atas dihitung dengan
Sinus, dan karena kecilnya nilai Horizontal Paralaks Bulan serta nilai Paralaks
Bulan pasti lebih kecil dari Horizontal Paralaksnya, maka rumus di atas dapat
disederhanakan dengan membuang dua fungsi sinus. Kenapa sinusnya dibuang ?
karena sinus itu adalah fungsi trigonometri yang “tidak peka”, atau
kurang “sensitif” saat digunakan untuk menghitung sudut-sudut yang kecil (di
bawah 3°). Yang saya maksudkan dengan kurang “sensitif” adalah nilai sudut
di bawah 3° jika dihitung
dengan sinus, nilainya kurang lebih hampir sama dengan menghitung sudut
tersebut dibagi dengan 60. Sehingga untuk menyederhanakan perhitungan, fungsi
sinus nya diabaikan. Itulah yang pernah disampaikan oleh Bapak LM Sabri, MT
Dosen Geodesi UNDIP yang mengampu Perkuliahan Astronomi Bola saat saya S1.
Sehingga rumus
menghitung koreksi Paralaks Bulan sebagaimana yang ada di buku-buku ilmu Falak
Praktis menjadi:
P = Horizontal Paralaks Bulan x Cos
Tinggi Geosentriknya
>> Kembali ke perhitungan Nautical Almanac..
Untuk menghitung Koreksi Paralaks Bulan, kita harus melakukan
interpolasi data Horizontal Paralaks, karena nilai Horizontal Paralaks yang akan
digunakan adalah Horizontal Paralaks Bulan saat Jam Matahari terbenam yang
sebenarnya (haqiqi) yaitu pukul 10:42:28,58 UT. Maka nilai Horizontal
Paralaks yang terinterpolasi adalah:
HP = A x (B-A) x C
= 0°58,5’ x(0°58,5’
- 0°58,5’) x 0:42:28,5
= 0°58,5’
[Catatan: Jika
data pertama dan data kedua bernilai sama, maka sebenarnya kita tidak perlu
melakukan interpolasi data. Karena hasilnya pasti akan sama dengan kedua
tersebut]
Sehingga
koreksi Paralaks Bulan:
P = HP x Cos hc
= 0°58,5’ x cos 8°28’38,22”
= 0°57’51,65”
2)
Koreksi
Refraksi
Sederhananya refraksi adalah pembiasan cahaya. Kita perlu
menghitung koreksi refraksi karena cahaya Bulan/Hilal akan dibiaskan oleh
atmosfer Bumi. Koreksi refraksi menyebabkan posisi Bulan atau benda langit
lainnya akan menjauhi horizon atau ufuk, atau dengan kata lain tinggi benda
langit tersebut tampak sedikit lebih tinggi. Nilai refraksi terbesar adalah
saat benda langit tersebut berada di ufuk, yaitu ref = 0°34’ Sedangkan refraksi terkecil adalah saat benda langit tersebut
berada di Zenit, ref = 0°. Karena
tinggi geosentrik Bulan (yang sudah kita hitung) tidaklah bernilai 0°, maka refraksinya harus kita hitung dengan rumus:
maka:
Ref = (Cotan (hc + 7,31 / (hc +4,4))) /60
atau:
Ref = 1/(Tan (hc + 7,31 / (hc +4,4))) /60
= 1/(Tan (8°28’38,22” + 7,31 / (8°28’38,22”
+4,4))) /60
= 0°6’16,91”
[Catatan: Rumus
di atas saya tambahkan dengan / 60 karena selamanya nilai Refraksi hanya sampai
pada menit busur saja. Agar saat menghitung teman-teman tidak bingung dengan
hasilnya, maka langsung rumus tersebut saya tambahi dengan / 60]
Karena dua koreksi (Paralaks dan Refraksi) sudah dihitung, maka
kita bisa menghitung nilai tinggi toposentrik dengan rumus sebagai berikut:
hc’ = hc – P +Ref + Dip
S: Kenapa
dalam menghitung tinggi toposentrik hilal, diperlukan juga koreksi Dip ?
J: Karena koreksi
Paralaks hanya merubah ketinggian benda langit dari acuan horizon titik pusat
Bumi (ufuk haqiqi) menjadi ketinggian benda langit dari acuan ufuk untuk
pengamat pada ketinggian 0 mdpl (seingat saya, ufuk jenis ini dinamakan ufuk hissi).
Sedangkan data koordinat tempat manapun yang digunakan, pasti memiliki tinggi
tempat > 0 mdpl. Sehingga diperlukan juga koreksi Dip atau kerendahan ufuk.
Karena Semakin tinggi tempat pengamatan, maka ufuk yang terlihat akan semakin
turun atau rendah. Hal tersebut akan mengakibatkan tinggi benda langit yang
teramati dari tempat yang tinggi akan tampak lebih tinggi daripada yang
teramati dari tempat yang rendah.
>> Kembali ke perhitungan Nautical Almanac..
Tinggi toposentrik hilal akhir
Dzulqo’dah 1441 pada saat Matahari terbenam haqiqi di lokasi yang kita
gunakan adalah:
hc’ = hc – P +Ref + Dip
= 8°28’38,22” –0°57’51,65” + 0°6’16,91”
+ 0°5’33,94”
= 7°42’37,42”
I.
Menghitung
Arah dan Azimuth Hilal
Perhitungan arah hilal pada saat
Matahari terbenam (pukul 17:42:28,5 WIB) menggunakan rumus berikut:
Cotan
AH = tan DB’ cos LT : sin LHAc – sin LT : tan LHAc
Cotan AH = tan 21°22’39,26” cos -7° 25’ 13” / sin 77°50’27,26” –
sin -7° 25’ 13”
/
tan 77°50’27,26”
AH = 66°58’45,95” UB
Sedangkan nilai Azimuth Hilal
adalah:
AzH = 360 – AH
= 360 - 66°58’45,95”
= 293°1’14,41”
J.
Menghitung
Posisi Hilal dari Posisi Matahari Terbenam
Posisi Hilal dari Posisi Matahari
Terbenam dapat diketahui dengan rumus sebagai berikut:
PH = AzH – AzM
= 293°1’14,41”
- 290°23’5,6”
= 2°38’8,81” Utara Matahari terbenam
[Catatan: Jika PH bernilai Positif, maka Posisi hilal disebelah
Utara Posisi Matahari terbenam. Dan jika PH bernilai Negatif, maka Posisi hilal
disebelah Selatan Posisi Matahari terbenam]
K. Menghitung Sudut elongasi Bulan
Sudut Elongasi Bulan adalah sudut
yang terbentuk dari garis yang menghubungkan titik pusat Bumi ke Bulan dan
garis yang menghubungkan titik pusat Bumi ke Matahari. Sudut Elongasi Bulan
erat kaitannya dengan iluminasi Bulan atau besar piringan Bulan yang tersinar
oleh Matahari dan terlihat dari Bumi. Dalam kajian awal bulan Qamariah, besar
sudut elongasi Bulan mempengaruhi lebar atau ketebalan hilal. Semakin besar
nilai sudut elongasinya, maka hilal akan lebih tebal dan lebih mudah dilihat. Sehingga
banyak falakiyun maupun astronom yang menggunakan nilai sudut elongasi
Bulan sebagai salah satu parameter inti dalam kriteria visibilitas hilal.
Rumus untuk menghitung sudut
elongasi Bulan banyak variasinya. Di sini saya akan menggunakan rumus yang
paling sederhananya saja:
Cos EB = cos (hc’ – hg) x
cos (PH)
Keterangan:
EB : Elongasi Bulan
hc’ : Tinggi toposentrik hilal
hg : tinggi Matahari terbenam
PH : posisi hilal dari posisi Matahari terbenam
S: Kok rumusnya pendek banget ? Darimana asalnya ?
J : Dari gambar segitiga bola mengenai busur elongasi Bulan yang
teramati dari suatu lokasi. Akan saya gambarkan tapi kalian coba ekstrak
sendiri rumusnya agar bisa buat latihan memahami trigonometri Bola. Saya kasih clue-nya:
rumus yang digunakan adalah persamaan cosinus pada segitiga bola dan sudut di
hadapan busur elongasi Bulan adalah senilai 90°. Ini gambarnya:
>> Kembali ke perhitungan Nautical Almanac..
Nilai elongasi Bulan pada akhir
Dzulqo’dah 1441 H saat Matahari terbenam di lokasi yang kita gunakan adalah:
Cos EB = cos (hc’ – hg) x
cos (PH)
Cos EB = cos (7°42’37,42” –
-0°55’15,94”) x cos (2°38’8,81”)
EB = 9°1’19,36”
L.
Menghitung
umur Hilal
Umur hilal adalah durasi waktu dari waktu
ijtima’ hingga waktu Matahari terbenam (waktu pengamatan hilal). Beberapa
kriteria visibilitas hilal klasik menggunakan umur hilal sebagai salah satu
parameternya.
UH = WGh – WIj
= 17:42:28,5 - 0:33
= 17 jam 9 menit 28,5 detik
M. Menghitung Waktu Hilal terbenam
Di sini saya akan menggunakan rumus yang
berbeda dari biasanya. Biasanya untuk mengitung waktu hilal terbenam, kebanyakan
teman-teman sering menggunakan rumus menjumlahkan Waktu Matahari terbenam
dengan durasi hilal di atas ufuk. Adapun durasi hilal di atas ufuk hanya dengan
menghitung tinggi hilal mar’i dibagi dengan 15. Menurut saya itu masih
bersifat perkiraan. Hasilnya akan jauh berbeda dengan pengamatan, jika saat itu
nilai deklinasi Bulan cukup besar, apalagi jika disertai dengan ketinggian hilal
yang cukup tinggi, seperti kondisi hilal di akhir bulan Dzulqo’dah 1441 yang
saya gunakan sebagai contoh. Bisa jadi dengan rumus biasanya, hilal sudah
dinyatakan terbenam. Namun dalam kenyataan observasinya hilal masih di atas
ufuk. Padahal waktu hilal terbenam biasa dijadikan “alarm” untuk segera
menyudahi aktifitas rukyatul hilal.
Langkah-langkah yang akan saya
gunakan ini khusus untuk para pengguna Nautical Almanac. Dan saya kira
hasilnya jauh lebih baik daripada menggunakan rumus yang biasanya teman-teman
gunakan.
Perhitungan waktu hilal terbenam ini
menggunakan data Moonset pada tabel di Nautical Almanac. Sebagaimana
yang dijelaskan pada halaman awal, Moonset atau waktu Bulan terbenam pada
tabel tersebut dihitung dengan ketinggian Bulan -0°50’atau -0°10’ (tidak dijelaskan alasannya) dan menggunakan sistem waktu LMT.
Tabelisasi data Moonset ini dibuat berdasarkan nilai lintang tempat
dengan interval tertentu. Interval maksimal data lintang adalah 10°. Sedangkan interval terkecilnya adalah 2°.
Berbeda dengan data Sunset yang
hanya ada satu tabel untuk 3 hari, data Moonset pada Nautical Almanac
dibuat perhari. Jadi pada tiap halamannya, ada data Moonset untuk 3
hari. Ini juga merupakan alasan kenapa saya tidak menggunakan data Sunset untuk
perhitungan waktu Matahari terbenam tetapi menggunakan Moonset untuk perhitungan
waktu Hilal terbenam.
Untuk menghitung waktu terbenam
hilal/Bulan, kita melakukan interpolasi data Moonset. Data pertama
adalah Moonset di lintang 0° sedangkan data keduanya adalah Moonset di lintang S 10°(South). Rumus yang kita gunakan:
Ms = A + (B – A) x
C / I
Keterangan:
Ms: Moonset terinterpolasi untuk lintang 7° 25’ 13” LS
A: Data Moonset pertama,
yaitu untuk lintang 0°
B: Data Moonset Kedua,
yaitu untuk lintang S 10°
C: Selisih antara lintang lokasi kita dengan lintang data pertama
(diabsolutkan saja)
I : Interval data Pertama dan kedua (10°)
maka,
Ms = A + (B – A) x
C / I
= 19:06 +
(18:51 – 19:06) x 7° 25’
13” / 10°
= 18:47:26,96
LMT
untuk merubah Moonset dari
sistem waktu LMT menjadi Waktu Daerah (WIB), kita gunakan koreksi waktu daerah
MsWD = Ms + (BD – BT) /15
= 18:47:26,96
+ (105°
– 109° 13’
09”) /15
= 18:30:34,36
WIB
Sehingga lama hilal di atas ufuk (Mukts
al-hilal) adalah..
Mukts = MsWD – WGh
=
18:30:34,36 - 17:42:28,5
=
0 jam 48 menit 5,86 detik
Silahkan bandingkan sendiri antara
hasil mukts al-hilal yang kita hitung ini dengan yang biasa teman-teman
gunakan. Selisihnya untuk contoh perhitungan ini cukup besar, karena di akhir
Dzulqo’dah 1441 H deklinasi Bulan cukup besar.
Jika kalian termasuk orang yang
tidak betah berlama-lama melakukan rukyatul hilal, gunakan rumus yang biasanya
saja agar kegiatan rukyatul hilal yang kalian ikuti bisa lebih cepat selesai. Tapi
jika kalian termasuk “The Real Hilal Hunters” yang ingin berusaha mendapatkan
citra hilal sampai detik terakhir Bulan di atas ufuk, maka gunakan rumus yang
sudah saya tuliskan di atas :D
Terakhir,
saya tuliskan kesimpulan hasil perhitungan akhir bulan Dzulqo’dah 1441 H/awal
bulan Dzulhijjah 1441 H:
- BT : 109° 13’ 09” BT
- TT : 10 mdpl
- Data Koordinat Tempat yang digunakan:
- BT : 109° 13’ 09” BT
- TT : 10 mdpl
- Ijtima’ akhir Bulan Dzulqo’dah 1441 H terjadi pada hari Selasa 21 Juli 2020 M pukul 00:33 WIB
- Pada 21 Juli 2020, Matahari terbenam pada pukul 17:42:29 WIB dengan Azimuth Matahari terbenamnya 290°23’5,6”
- Tinggi Geosentrik Hilal : 8°28’38,22”
- Tinggi Toposentrik Hilal : 7°42’37,42”
- Azimuth Hilal : 293°1’14,41”
- Posisi Hilal : 2°38’8,81” di sebelah Utara Posisi Matahari terbenam
- Sudut Elongasi : 9°1’19,36”
- Umur Hilal : 17 jam 9 menit 29 detik
- Lama Hilal di atas ufuk : 0 jam 48 menit 6 detik
- Waktu Hilal terbenam : 18:30:34 WIB
>> Catatan
Akhir:
- Jika kalian melihat ada perbedaan antara metode/langkah-langkah penggunaan Nautical Almanac untuk hisab awal bulan Qamariah yang saya gunakan dengan yang digunakan oleh orang lain, maka itu WAJAR. Karena dalam Nautical Almanac tidak terdapat panduan khusus untuk hisab awal bulan Qamariah. Sehingga pengguna Nautical Almanac harus “meracik sendiri” atau mengkombinasikannya dengan langkah-langkah hisab awal bulan Qamariah dari buku-buku ilmu Falak yang pernah ia pelajari.
- Jika kalian menggunakan kalkulator dan menemukan perbedaan hasil antara perhitungan yang saya tulis dengan hasil pada kalkulator kalian (pada satuan detik), maka itu juga WAJAR. Karena dalam perhitungan ini, saya menggunakan Ms Excel. Hasil dari masing-masing perhitungan di atas adalah rentetan dari hasil-hasil sebelumnya yang pada awalnya berformat DERAJAT DESIMAL panjang. Bukan menggunakan hasil-hasil perhitungan yang sudah diformatkan dengan tampilan D°M’S” atau H:M:S karena sudah menggunakan pembulatan 2 digit pada desimal detik.
RINGKASAN PERHITUNGAN DAPAT DIUNDUH DI SINI
Wallahu A’lam
bi al-Shawab
No comments:
Post a Comment