Pages

Monday, December 26, 2011

BULAN SEBAGAI PENENTU WAKTU



A.   Sejarah Bulan Sebagai Penentu Waktu
Bulan berasal dari bahasa Latin “luna” yang kemudian sering disebut “lunar”. Bulan adalah satu-satunya satelit alam milik Bumi yang merupakan satelit alami terbesar ke-5 di Tata Surya. Bulan yang ditarik oleh gaya gravitasi Bumi tidak akan jatuh ke Bumi disebabkan oleh gaya sentrifugal yang timbul dari orbit Bulan mengelilingi Bumi. Besarnya gaya sentrifugal Bulan sedikit lebih besar dari gaya tarik-menarik antara gravitasi Bumi dan Bulan. Hal ini menyebabkan Bulan semakin menjauh dari Bumi dengan kecepatan sekitar 3,8 cm/tahun.[1]
Asal-usul Bulan tidak diketahui secara pasti. Akan tetapi, para ilmuwan menemukan bukti penting bahwa Bulan berasal dari tabrakan Bumi dengan planet kecil bernama Theira sekitar 3 milyar tahun yang lalu. Tabrakan itu menghasilkan debu yang sangat banyak dan mengorbit di sekeliling Bumi yang kemudian secara berangsur-angsur debu-debu tersebut mengumpul dan berubah menjadi Bulan. Pada awalnya, jarak Bulan pada pertama kalinya hanya sekitar 30.000 mil atau 15 kali lebih dekat dari jarak Bulan dengan Bumi sekarang.[2]
Parmenides dari Elea (abad ke-6 SM) menggambarkan Bulan dalam puisinya sebagai “cahaya asing yang menyinari malam dan berputar mengelilingi Bumi.” Pada baris puisi berikutnya, Parmenides melukiskan karakteristik Bulan yang “selalu memusatkan pandangannya pada sorotan cahaya Matahari.” Orang yang tahu, tentu akan berpendapat bahwa puisi Parmenides tersebut merupakan gambaran nyata dari cahaya Bulan yang sebenarnya hanya lah pantulan sinar Matahari. Baris kedua puisi tersebut benar-benar membuka pengetahuan manusia pada zaman dahulu bahwa bagian Bulan yang bercahaya selalu berhadapan dengan Matahari. Akan tetapi, hal ini tidak begitu berpengaruh terhadap pemahaman mengenai penyebab fisik dari perubahan cahaya Bulan.[3]
Parmenides merupakan satu-satunya orang yang mengetahui (pada saat itu) bahwa bagian Bulan yang bercahaya selalu menghadap ke arah Matahari tanpa menyadari bahwa cahaya Bulan tersebut sebenarnya adalah pantulan sinar Matahari. Ungkapan dari Parmenides ini secara garis besar sudah mampu menuntaskan penjelasan tentang fase-fase Bulan yang kemudian dihubungkan oleh dua orang bernama Vitruvius dan Berosus. Menurut pandangan ini, Bulan memiliki bentuk seperti bola yang salah satu bagiannya bercahaya dan bagian lainnya berwarna biru. Bagian permukaan Bulan yang bercahaya selalu menghadap ke Matahari, terkena sinar dan panas yang cukup besar, terus berada di antara kilauan sinar Matahari. Sementara Bulan melakukan perjalanan melewati bintang-bintang, permukaan Bulan yang tidak bercahaya berangsur-angsur menghadap ke arah Matahari. Oleh sebab itu, bagian yang bercahaya akan selalu mengarah ke sinar Matahari. Sehingga kita bisa mengetahui perubahan fase sebagai penanda pergantian bulan.[4]
Berosus adalah seorang astronom dan astrolog Chaldaean, Babilonia, yang meninggal pada sekitar 300 SM. Hasil penelitiannya baru diketahui kemudian oleh para penulis Yunani dan Roma yang berusaha menjaga dan mempertahankan beberapa catatannya yang masih terpisah-pisah dan belum lengkap. Menurut Vitruvius, Berosus hidup di pulau Cos, di mana ia membuka sebuah sekolah dan memperkenalkan Astrologi kepada masyarakat Yunani. Berosus memberikan sumbangan pengetahuan yang cukup besar dalam perkembangan Astronomi Babilonia dan Yunani.[5]
Mayoritas penduduk Yunani mengikuti teori Anaxagoras dalam menjelaskan penyebab terjadinya fase-fase dan gerhana Bulan. Anaxagoras berasal dari Clazomenae, daerah barat Asia kecil (barat Izmir, kota Turki modern) dan hidup pada sekitar 480 SM. Kemudian Anaxgoras pergi ke Athena, tempat yang memungkinkannya memperoleh dukungan finansial dan fasilitas yang memadai yang berasal dari Pericles, seorang pemimpin poltik di sana.[6] 
Anaxagoras menjelaskan fase-fase Bulan secara tepat dengan berkata bahwa cahaya Bulan diperoleh dari sinar Matahari. Plato menyebut teori tersebut sebagai “sebuah penemuan baru Anaxagoras” yang memaparkan bahwa Bulan menerima cahayanya dari Matahari. Kemudian Hippolytus dan Aëtius berkata bahwa Anaxagoras juga memberikan penjelasan mengenai proses gerhana Matahari yang dimulai dengan masuknya Bulan ke daerah yang terletak di antara Matahari dan Bumi serta proses gerhana Bulan dengan masuknya Bulan ke dalam bayangan Bumi.[7]

B.     Data-data Bulan
Bulan merupakan benda langit berbatu dan memiliki diameter 3.476 km dan jarak rata-rata ke Bumi sebesar 384.000 km.[8] Menurut Muhyiddin Khazin, Bulan mempunyai diameter 3.480 km dan jarak rata-rata ke Bumi 384. 421 km.[9] Bulan memiliki massa dengan perbandingan 1:81 dari massa Bumi; berat jenis (air = 1) 3,3; perbandingan gravitasi 1:6 dari gravitasi Bumi. Karena perbandingan gravitasi yang kecil (1:6), maka orang yang berbobot 60 kg di Bumi hanya memiliki berat bedan sebesar 10 kg di Bulan. Periode rotasi Bulan sama dengan periode revolusinya saat mengelilingi Bumi yang membutuhkan waktu 27 hari (27 hari 7 jam 43 menit 12 detik). Waktu tersebut merupakan satu kali putaran revolusi Bulan terhadap Bumi (waktu yang diperlukan untuk mengorbit Bumi pada lintasan sekali putaran). Periode waktu ini disebut satu bulan Sideris. Revolusi Bulan ini dijadikan sebagai salah satu dasar perhitungan kalender, yaitu Hijriyah.[10]
Rotasi yang sinkron dengan revolusinya ini akibat distribusi massa Bulan yang tidak simetris yang mengakibatkan gaya gravitasi Bumi dapat mengikat salah satu belahan Bulan yang selalu mengahadap ke Bumi. Sumbu putar rotasi Bulan berbentuk miring (busur) sebesar 1,524 derajat terhadap sumbu putar Bumi, sedangkan bidang orbitnya membentuk busur 5,1454 derajat.[11]
Sejak abad ke-17 M, Galileo dan ahli Astronomi lain telah melakukan pengamatan teleskop atas Bulan dan telah mampu melihat kawah-kawah yang tersebar tanpa batas di permukaannya. Ternyata Bulan tidak memiliki kepadatan yang sama dengan Bumi. Langit Bulan selalu gelap karena tidak mempunyai atmosfer padahal untuk melakukan proses refraksi sinar dibutuhkan atmosfer.[12]
Perbandingan gravitasi yang kecil (bila dibandingkan Bumi) membuat Bulan tidak sanggup menahan atmosfer apapun. Hal ini mengakibatkan kondisi Bulan yang tidak berudara dan berdampak pada tinggi suhu yang mencapai hingga lebih dari 100º C selama siang hari di Bulan, tetapi berubah secara ekstrim pada malam hari sampai pada titik beku lebih rendah dari –150º C.
          Bulan tidak memiliki atmosfer yang dapat menahan jatuhnya benda-benda langit ke permukaan. Akibatnya, banyak terdapat lubang di permukaan Bulan. Akibat lain dari tidak adanya atmosfer di Bulan yaitu puing-puing bekas tumbukan meteorit jutaan tahun lalu tetap ada sampai sekarang.[13]
Struktur dalam Bulan tidak seperti Bumi. Kerak Bulan lebih tebal meski jenis batuannya jauh lebih sedikit daripada di Bumi. Lapisan-lapisan yang menyusun Bulan terdiri dari inti dalam, inti luar, mantel, dan kerak.[14]
Data Statistik Bulan:[15]
Diameter
3.476 km
Luas permukaan
37.960.000 km2
Keliling di equatornya
10.920 km
Rentang topografi
16 km
Jarak rata-rata dari Bumi
384.400 km
Jarak dari Bumi pada apogee
406.700 km
Jarak dari Bumi pada perigee
356.400 km
Jarak cahaya dari Bumi
1,3 detik
Pertambahan jarak rata-rata dari Bumi
3,8 cm/tahun
Magnitude saat quartal I
-10,20 mag
Magnitude saat quartal III
-10.05 mag
Magnitude saat purnama
-10,55 mag
Bulan Sideris
27 hari 7 jam 43 menit
Bulan Sinodis
29 hari 12 jam 44 menit
Kecepatan orbit rata-rata mengelilingi Bumi
3.681 km/jam
Kecepatan sudut rata-rata
33’/jam
Gerakan harian rata-rata terhadap bintang
13,176º
Kemiringan bidang orbit terhadap bidang ekliptika
5º8’43’’
Penggepengan orbit Bulan terhadap Bumi
0,0549

C.       Pergerakan Bulan
Sebagai satelit alam Bumi, Bulan memiliki dua gerak penting yang mempunyai pengaruh secara langsung terhadap Bumi, yaitu rotasi dan revolusi Bulan.
1.       Rotasi Bulan
Rotasi Bulan yaitu perputaran Bulan pada porosnya dari arah Barat ke Timur. Satu kali berotasi memakan waktu sama dengan satu kali revolusinya mengelilingi Bumi. Akibatnya, permukaan Bulan yang menghadap ke Bumi relatif tetap. Adanya sedikit perubahan permukaan Bulan yang mengahadap ke Bumi juga diakibatkan adanya gerak angguk Bulan pada porosnya. Hanya saja gerak angguk Bulan ini kecil sekali sehingga dapat diabaikan.[16]
2.      Revolusi Bulan
Revolusi Bulan adalah perputaran Bulan mengelilingi Bumi dari arah Barat ke Timur. Satu kali penuh revolusi Bulan memerlukan waktu rata-rata 27 hari 7 jam 43 menit 12 detik. Waktu rata-rata ini disebut satu bulan Sideris atau Syahr Nujumi.[17] Revolusi Bulan ini dipakai sebagai dasar dalam perhitungan Hijriyah dan Saka Jawa.[18] Akan tetapi, yang dipergunakan dalam perhitungan ini bukan waktu sideris, melainkan waktu Sinodis. Waktu sinodis atau Syahr Iqtironi yang berjumlah 29 hari 12 jam 44 menit 2,8 detik.[19]
Kalender yang penentuan panjang satu tahunnya menggunakan siklus sinodik Bulan disebut kalender Bulan (Lunar Calender). Siklus ini bisa dikatakan sebagai siklus dua fase Bulan yang sama secara berurutan. Umur kalender Bulan (12 kali siklus sinodik Bulan) adalah 354 hari 8 jam 48 menit 36 detik.[20]
Bulan beredar dalam orbitnya yang mengitari Bumi dengan memotong bidang ekliptika sebesar 05º08′52″. Dengan demikian, bidang edar Bulan tidak berimpit dengan bidang edar Bumi. Jika kedua bidang edar tersebut (bidang edar Bumi dan Bulan) berimpit, maka setiap bulan akan terjadi dua kali gerhana, yaitu gerhana Matahari pada awal bulan dan gerhana Bulan pada pertengahan bulan. Meskipun begitu, gerhana Matahari atau Bulan setiap tahun masih sering terjadi (sekitar 3 atau 4 kali). Hal ini disebabkan oleh kecilnya sudut potong antara bidang edar tersebut dengan ekliptika.[21]

D.    Fase-fase Bulan
Bulan adalah benda langit yang tidak mempunyai sinar. Cahayanya yang tampak dari Bumi sebenarnya merupakan sinar Matahari yang dipantulkan oleh Bulan. Dari hari ke hari bentuk dan ukuran cahaya Bulan berubah-ubah sesuai dengan posisi Bulan terhadap Matahari dan Bumi.[22] Hal ini dinamakan fase Bulan (Moon’s phase) dan terulang setiap sekitar 29,5 hari, yaitu waktu yang diperlukan Bulan untuk mengelilingi Bumi. Empat fase utama yang penting bagi Bulan antara lain:[23]
1.      Bulan Baru (New Moon)
2.      Kuartal Pertaama (First Quarter)
3.      Bulan Purnama (Full Moon)
4.      Kuartal Ketiga atau Terakhir (Third Quarter atau Last Quarter)
Empat fase di atas merupakan fase utama Bulan. Selain fase utama tersebut, juga terdapat delapan fase yang lebih detail. Delapan fase ini dapat dibedakan dalam proses sejak waktu hilal (Bulan baru) muncul sampai tidak ada (tidak tampak). Pada dasarnya, ini menunjukkan delapan tahap bagian permukaan Bulan yang terkena sinar Matahari dan kenampakan geosentris bagian yang tersinari ini yang dapat dilihat dari Bumi. Kondisi yang dijelaskan dalam tahapan detail fase Bulan ini dapat berlaku di lokasi manapun di permukaan Bumi. Fase-fase tersebut antara lain:[24]
1.       Fase Pertama
Pada saat Bulan persis berada diantara Bumi dan Matahari ―yaitu pada saat ijtima’― maka seluruh bagian Bulan yang tidak menerima sinar Matahari persis menghadap ke Bumi. Akibatnya, saat itu Bulan tidak tampak dari Bumi. Peristiwa tersebut dinamakan Muhak atau Bulan Mati.[25]
Begitu Bulan bergerak, maka ada bagian Bulan yang menerima sinar dari Matahari terlihat dari Bumi. Bagian Bulan ini terlihat sangat kecil dan berbentuk sabit. Peristiwa ini lah yang disebut dengan Hilal awal bulan.[26]
Dalam posisi (fase) ini, bersamaan dengan gerakan Bulan mengelilingi Bumi, kita melihat bagian Bulan yang terkena sinar Matahari semula sangat kecil berbentuk sabit (crescent) yang semakin hari semakin membesar. Yang harus diperhatikan, dan sering menjadi anggapan umum yang salah adalah bagian Bulan yang gelap adalah semata-mata karena tidak terkena sinar Matahari, bukan karena terhalang Bumi (karena peristiwa Bulan tertutup bayangan Bumi disebut gerhana Bulan, dan kedua peristiwa ini jelas berbeda). Saat Bulan sabit pertama kali dapat dilihat inilah yang disebut Hilal yang menandai awal sebuah Bulan dalam kalender Hijriyah dan kalender bangsa Yahudi (kalender Yahudi juga menggunakan kondisi hilal ini sebagai hari pertama dari sebuah bulan). Dalam ilmu Astronomi, proses semakin besarnya Bulan ini dinamakan waxing crescent moon.[27]
Bulan baru sebetulnya terbit di sebelah timur hampir bersamaan dengan terbitnya Matahari, berada tepat di tengah langit juga sekitar waktu tengah hari, dan tenggelam juga hampir bersamaan dengan tenggelamnya Matahari di barat. Namun, selama sejak terbit sampai hampir tenggelam, kita tidak dapat melihat Bulan Sabit (Hilal) ini karena intensitas cahayanya kalah jauh dengan sinar Matahari. Baru ketika menjelang hari tenggelam, intensitas cahaya Matahari semakin lemah, sehingga tampaklah Bulan Sabit (Hilal) tersebut.[28]
2.      Fase Kedua
Semakin jauh Bulan bergerak meninggalkan titik ijtima’, semakin besar pula cahaya Bulan yang tampak dari Bumi. Hal ini disebabkan adanya bagian Bulan yang terkena sinar Matahari terus bertambah besar sampai pada suatu posisi di mana Bulan kelihatan separuh. Ini terjadi sekitar tujuh hari kemudian setelah bulan mati, Bulan akan tampak dari Bumi dengan bentuk setengah lingkaran. Bentuk seperti ini disebut Kwartir I atau Tarbi’ Awwal (Kuartal Pertama).[29]
Bila pada kondisi fase pertama Bulan segera menyusul tenggelam mengikuti tenggelamnya Matahari beberapa menit kemudian, pada fase kedua ini Bulan baru tenggelam sekitar enam jama kemudian setelah tenggelamnya Matahari atau sekitar tengah malam. Tenggelamnya Bulan pada fase ini tidak lain adalah akibat dari gerakan rotasi Bumi pada porosnya selama kurang lebih 24 jam. Bulan lebih lambat sekitar 6 jam daripada Matahari. Pada kondisi ini Bulan terbit dari sebelah timur ketika sekitar tengah hari, berada tepat di tengah langit kita pada saat sekitar tenggelamnya Matahari, dan tenggelam di ufuk barat sekitar tengah malam.[30]
3.      Fase Ketiga
Dalam beberapa hari berikutnya, Bulan akan tampak semakin membesar. Dalam istilah Astronomi, fase ini disebut waxing gibbous moon atau waxing humped moon. Waktu terbit Bulan menjadi semakin melambat dibandingkan dengan Matahari. Bulan terbit pada sekitar jam 15.00, tepat di tengah langit kita pada sekitar 21.00, dan tenggelam pada sekitar jam 03.00 pagi.[31]
4.      Fase Keempat
Kemudian pada pertengahan Bulan (sekitar tanggal 15 bulan Qomariyah), sampailah pada saat di mana Bulan pada titik oposisi dengan Matahari ―yaitu saat istiqbal―. Pada saat ini, Bumi persis sedang berada di antara Bulan dan Matahari. Bagian Bulan yang sedang menerima sinar Matahari hampir seluruhnya terlihat dari Bumi. Akibatnya Bulan tampak seperti bulatan penuh. Peristiwa ini dinamakan Badr atau Bulan Purnama.[32]
Pada kondisi purnama, Bulan terlambat 12 jam daripada Matahari. Ini berarti Bulan akan terbit bersamaan dengan tenggelamnya Matahari, berada tepat di tengah langit kita pada tengah malam, dan tenggelam saat Matahari terbit. Bila Bulan betul-betul pada posisi yang segaris dengan Bumi dan Matahari dalam kondisi ini, maka akan terjadi gerhana Bulan di tempat tersebut karena bayangan Bumi tepat menutupi Bulan.[33]
5.      Fase Kelima
Sejak purnama sampai dengan terjadinya gelap total tanpa Bulan, bagian Bulan yang terkena sinar Matahari kembali mengecil di bagian dari sisi lain dalam proses waxing gibbous moon. Dalam Astronomi, proses ini disebut waning sehingga Bulan yang berada dalam kondisi ini dinamakan waning gibbous moon atau waning humped moon. Pada fase ini, Bulan sekitar 9 jam lebih awal daripada Matahari. Ini berarti Bulan terbit di sebelah timur pada sekitar pukul 21.00, berada tepat di tengah langit kita pada sekitar jam 03.00 pagi, dan tenggelam pada saat sekitar jam 09.00.[34]
6.      Fase Keenam
Sekitar 3 minggu setelah hilal, bagian permukaan Bulan akan tampak separuh kembali (setengah lingkaran). Namun, bagian yang tampak dari Bumi ini arahnya kebalikan dari kuartal pertama. Fase yang demikian dinamakan kuartal terakhir atau kuartal ketiga. Pada fase ini, Bulan terbit lebih awal sekitar 6 jam daripada Matahari. Ini berarti Bulan terbit di sebelah timur pada sekitar pukul 24.00 (tengah malam), tepat berada di tengah langit kita pada sekitar Matahari terbit, dan tenggelam di ufuk barat pada sekitar tengah hari (jam 12.00).[35]
Menurut Muhyiddin Khazin, proses dari tujuh hari setelah bulan purnama yang membuat Bulan akan tampak dari Bumi dalam bentuk setengah lingkaran lagi disebut Kwartir II atau Tarbi’ Sani.[36]

7.      Fase Ketujuh
Memasuki minggu akhir keempat sejak hilal, bentuk permukaan Bulan yang terkena sinar Matahari semakin mengecil sehingga membentuk Bulan sabit tua (waning crescent). Bulan terbit semakin mendahului Matahari dalam rentan waktu sekitar 9 jam. Ini berarti Bulan terbit di ufuk timur pada sekitar jam 03.00, tepat di tengah langit kita sekitar jam 09.00 pagi, dan tenggelam di ufuk barat pada sekitar jam 15.00.[37]
8.      Fase Kedelapan
Pada posisi ini, Bulan berada pada arah yang sama terhadap Matahari. Bagian Bulan yang terkena sinar Matahari adalah yang membelakangi Bumi. Dengan demikian, bagian Bulan yang menghadap ke Bumi semuanya gelap. Ini merupakan kondisi tanpa Bulan, di mana pada fase ini Bulan dan Matahari terbit dan tenggelam hampir bersamaan. Dengan kata lain, Bulan terbit di ufuk timur sekitar jam 06.00, berada di tengah langit kita pada sekitar jam 12.00 (tengah hari), dan tenggelam di ufuk barat pada pukul 18.00. Karena sisi gelap Bulan yang menghadap kita, maka kita tidak dapat melihat Bulan kecuali bila terjadi gerhana Matahari. Dalam terminologi ilmu Astronomi, peristiwa ini disebut konjungsi dan terjadi bulan baru. Menurut kalender China, kondisi seperti ini juga dijadikan sebagai tanda dari munculnya awal sebuah bulan.[38]
Fase-fase Bulan ini dapat dipergunakan dalam penentuan waktu bulanan selama satu tahun. Jenis kalender yang menggunakan Bulan sebagai acuan disebut kalender Bulan (Lunar Calender). Perhitungan ini dilakukan dengan melihat perubahan fase-fase Bulan setiap harinya selama 1 bulan. Dengan begitu, jumlah hari dapat dilihat berdasarkan bentuk permukaan Bulan yang tampak dari Bumi.




Gambar fase-fase Bulan:
Awal bulan ditandai dengan munculnya hilal (bulan sabit kecil) karena pada permukaan Bulan yang berbentuk sabit tersebut sinar Matahari yang mengenai Bulan dipantulkan. Kemudian sinar tersebut bertambah semakin besar dan mencapai puncaknya pada Bulan purnama. Setelah Bulan purnama, sinar Matahari yang diterima dan dipantulkan Bulan akan semakin mengecil dari hari ke hari dengan arah yang berlawanan. Pada hari-hari akhir bulan, Bulan semakin tidak tampak dan menjadi Bulan mati. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya sinar Matahari yang dipantulkan Bulan.
Fase-fase Bulan yang berlangsung secara teratur tiap bulannya memberikan kemudahan bagi manusia untuk membuat sistem waktu. Sistem waktu ini berupa perhitungan jumlah hari setiap bulan yang mengikuti siklus sinodis Bulan. Artinya, meskipun Bulan telah melakukan perputaran sebesar 360º, masih belum dianggap memasuki awal bulan baru. Penyebabnya tidak lain karena perputaran 360º ini hanya sampai pada rentan waktu di mana Bulan berada pada posisi bulan tua. Sedangkan untuk memasuki bulan baru, hilal harus dapat dilihat. Secara otomatis harus ada beberapa hari tambahan dari masa bulan tua untuk berubah menjadi hilal. Oleh sebab itu, siklus semacam ini dinamakan siklus visibilitas hilal (meminjam istilah Moedji Raharto).[39]
Pergantian hari dalam penanggalan ini tidak bergantung pada meridian rotasi Bumi, tapi ditentukan oleh kedudukan Matahari. Konsep waktu dalam penanggalan Bulan (terutama kalender Hijriyah umat Islam) menggunakan benda langit yang sebenarnya. Pergantian bulan ditentukan dengan visibilitas hilal dan berdasarkan teori serta pengalaman empiris. Visibilitas hilal hanya terjadi bila Bulan telah melewati ijtima’ atau konjungsi. Pada saat kedudukan Bulan dan Matahari di langit berdekatan, visibilitas hilal memerlukan kondisi Matahari terbenam sehingga penentuan waktu berdasarkan sistem ini memang konsisten karena pergantian awal bulan dan hari berlangsung pada saat Matahari terbenam.[40]


[1] Hendra Wisesa, Mini Ensiklopedi Alam Semesta, Yogyakarta: Garailmu, 2010,  hlm. 41.
[2] Ibid., hlm. 42.
[3] James Evans, The History and Practice of Ancient Astronomy, New York, Oxford University Press, 1998, hlm. 45.
[4] Ibid.
[5] Ibid., hlm. 45-46.
[6] Ibid., hlm. 46.
[7] Ibid.
[8] Robbin Kerrod, Bengkel Ilmu Astronomi, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005, hlm. 140.
[9] Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Buana Pustaka, 2008, hlm. 131. Lihat Muhyiddin Khazin, Kamus Ilmu Falak, Yogyakarta: Buana Pustaka, 2005, hlm. 66-67.
[10] Muhyiddin Khazin, Ibid., hlm. 132.
[11] Tono Saksono, Mengkompromikan Rukyah & Hisab, Jakarta: Amythas Publicita, 2007, hlm. 27.
[12] Ibid.
[13] Nicholas Harris, Atlas Ruang Angkasa, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007, hlm. 13
[14] Ibid.
[15] Tono Saksono, op. cit., hlm. 28.
[16] Muhyiddin Khazin, loc. cit.
[17] Ibid.
[18] Shofiyulloh, Mengenal Kalender LuniSolar di Indonesia, disampaikan pada saat Kajian Ilmiyah Ahli Hisab PWNU Jatim yang dilaksanakan di IAIN Sunan Ampel Surabaya pada tanggal 18 April 2004, hlm. 3.
[19] Muhyiddin Khazin, loc. cit.
[20] Shofiyulloh, loc. cit.
[21] Muhyiddin Khazin, op. cit., hlm. 133.
[22] Ibid.
[23] Tono Saksono, op. cit., hlm. 32.
[24] Ibid.
[25] Muhyiddin Khazin, op. cit., hlm. 133.
[26] Ibid.
[27] Tono Saksono, op. cit., hlm. 33-34.
[28] Tono Saksono, op. cit., hlm. 35.
[29] Muhyiddin Khazin, op. cit., hlm. 133-134.
[30] Tono Saksono, op. cit., hlm. 36.
[31] Ibid.
[32] Muhyiddin Khazin, op. cit., hlm. 134.
[33] Tono Saksono, op. cit., hlm. 37.
[34] Ibid.
[35] Ibid., hlm. 38.
[36] Muhyiddin Khazin, loc. cit.
[37] Tono Saksono, loc. cit.
[38] Ibid. hlm. 39.
[39] Moedji Raharto, Sistem Penanggalan Syamsiyah/Masehi, Bandung: Penerbit ITB, 2001, hlm. 31.
[40] Ibid., hlm. 33.

No comments:

Post a Comment