A.
Data-data
Matahari
Matahari
atau juga disebut Surya (dari nama Dewa "Surya" - Dewa Matahari dalam
kepercayaan Hindu) adalah bintang terdekat dengan Bumi dengan jarak rata-rata
149.680.000 kilometer (93.026.724 mil). Matahari serta kedelapan buah planet
(yang sudah diketahui/ditemukan oleh manusia) membentuk Tata Surya. Sejauh
penelusuran mengenai tata surya, telah disimpulkan menjadi dua ; Pertama,
Sistem Ptolomeus dan Kedua, sistem Kopernicus.[1]
Matahari adalah suatu bintang sebagai pusat peredaran benda langit dalam
tatasurya.[2]
Pada hakekatnya Matahari adalah bintang yang berukuran sedang. Seperti
dikemukakan oleh penelitian Kepler, Matahari menjadi pusat peredaran
planet-planet dalam tatasurya kita yang orbitnya berbentuk eliptik, sedangkan
Matahari berada pada salah satu fokus elip ini.[3]
Di
samping sebagai pusat peredaran, matahari juga merupakan pusat sumber tenaga di
lingkungan tata surya. Matahari terdiri dari inti dan tiga lapisan kulit,
masing-masing fotosfer, kromosfer dan korona.[4]
Namun struktur detailnya adalah ; 1) inti atau bagian dalam dari matahari, 2)
Permukaan atau kulit matahari, 3) Atmosfer matahari atau tiga lapisan kulit
inti, 4) Permukaan matahari, 5) Spektrum Matahari, dan 6) Noda-noda Matahari.[5]
Material dari matahari terbentuk dari ledakan bintang generasi pertama seperti
yang diyakini oleh ilmuwan, bahwasanya alam semesta ini terbentuk oleh ledakan
big bang sekitar 14.000 juta tahun lalu.
Jarak matahari ke bumi adalah 150 juta km.[6]
Dibandingkan dengan bumi, diameter matahari kira-kira 100 kalinya.[7]
Gaya tarik matahari kira-kira 28 kali gaya tarik bumi. Sinar matahari menempuh
masa delapan menit untuk sampai ke Bumi.[8]
Kuatnya pancaran sinar matahari dapat mengakibatkan kerusakan pada jaringan
sensor mata dan mengakibatkan kebutaan.
Menurut
perhitungan para ahli, temperatur di permukaan matahari sekitar 6.000 °C.[9]
Jenis batuan atau logam apapun yang ada di Bumi ini akan lebur pada suhu
setinggi itu. Temperatur tertinggi terletak di bagian tengahnya yang
diperkirakan tidak kurang dari 25 juta derajat Celsius namun disebutkan juga
kalau suhu pada intinya 15 juta derajat Celsius. Ada pula yang menyebutkan
temperatur di inti matahari kira kira sekitar 13.889.000 °C. Menurut JR Meyer, panas matahari berasal dari
batu meteor yang berjatuhan dengan kecepatan tinggi pada permukaan matahari.
Sedangkan menurut teori kontraksi H Helmholz, panas itu berasal dari
menyusutnya bola gas. Ahli lain, Dr Bothe menyatakan bahwa panas tersebut
berasal dari reaksi-reaksi termonuklir yang juga disebut reaksi hidrogen helium
sintetis.
B.
Gerakan
Matahari
Ada dua
macam perputaran atau peredaran matahari, yaitu : Pertama, beredar bersama-sama
sekalian badan angkasa yang mengelilinginya. Tepat di jalannya 57 km dalam satu
detik. Kedua, berputar pada sumbunya sekali dalam 25 ½ hari.[10]
Selain itu ada beberapa pergerakan lagi,
pergerakan matahari ke arah utara dan selatan bumi pada waktu-waktu
tertentu sepanjang tahun. Pergerakan spiral matahari mengelilingi bumi. Dan
pergerakan Venus pada orbitnya yang berupa episklus diikuti dengan pergerakan
Matahari.[11] Bumi
terlindungi daripada angin matahari oleh medan magnet bumi, sementara lapisan
ozon pula melindungi Bumi daripada sinar ultra-violet dan sinar infra-merah.
Terdapat bintik matahari yang muncul dari masa ke masa pada matahari yang
disebabkan oleh perbedaan suhu di permukaan matahari. Bintik matahari itu
menandakan kawasan yang "kurang panas" berbanding kawasan lain dan
mencapai keluasan melebihi ukuran Bumi. Kadang-kala peredaran Bulan
mengelilingi bumi menghalangi sinaran matahari yang sampai ke Bumi, oleh itu
mengakibatkan terjadinya gerhana matahari.
C.
Manfaat
Matahari
Matahari
mempunyai fungsi yang sangat penting bagi bumi. Energi pancaran matahari telah
membuat bumi tetap hangat bagi kehidupan, membuat udara dan air di bumi
bersirkulasi, tumbuhan bisa berfotosintesis, dan banyak hal lainnya. Merupakan
sumber energi (sinar panas). Energi yang terkandung dalam batu bara dan minyak
bumi sebenarnya juga berasal dari matahari. Mengontrol stabilitas peredaran
bumi yang juga berarti mengontrol terjadinya siang dan malam, tahun serta
mengontrol planet-planet lainnya. Tanpa matahari, sulit dibayangkan kalau akan
ada kehidupan di bumi.
Pembahasan
selanjutnya akan lebih mendalam tentang matahari sebagai penentu waktu. Penentu
waktu disini, saya simpulkan ke dalam beberapa bagian, antara lain :
1.
Matahari sebagai Penentu
Waktu dalam ruang lingkup Astronomi
Waktu Matahari itu didasarkan dari ide bahwa saat matahari
mencapai titik tertinggi di langit, saat tersebut dinamakan tengah hari. Waktu
matahari nyata itu didasarkan dari hari matahari nyata, di mana interval di
antara dua kali kembalinya matahari ke lokal meridian. Waktu matahari bisa
diukur dengan menggunakan jam matahari.
Waktu matahari rata-rata (mean solar time) adalah jam waktu
buatan yang dicocokan dengan pengukuran diurnal motion (gerakan nyata bintang
mengelilingi bumi) dari bintang tetap agar cocok dengan rata-rata waktu
matahari nyata. Panjangnya waktu matahari rata-rata adalah konstan 24 jam
sepanjang tahun walaupun jumlah sinar matahari di dalamnya bisa berubah. Satu
hari matahari nyata bisa berbeda dari hari matahari rata-rata (yang berisi
86.400 detik) sebanyak 22 detik lebih pendek sampai dengan 29 detik lebih
panjang. Karena banyak hari-hari panjang atau hari-hari pendek ini terjadi
secara berturut-turut, perbedaan yang terkumpul bisa mencapai hampir 17 menit
lebih awal atau lebih dari 14 menit terlambat. Perbedaan antara waktu matahari
nyata dan waktu matahari rata-rata itu dinamakan persamaan waktu.
Jam matahari adalah sebuah perangkat yang menunjukkan waktu
berdasarkan letak matahari. Rancangan jam matahari yang paling umum dikenal
memanfaatkan bayangan yang menimpa permukaan datar yang ditandai dengan jam-jam
dalam suatu hari. Seiring dengan perubahan pada posisi matahari, waktu yang
ditunjukkan oleh bayangan tersebut pun turut berubah. Pada dasarnya, jam
matahari dapat dibuat menggunakan segala jenis permukaan yang ditimpai bayangan
yang dapat ditebak posisinya. Kekurangan dari jam matahari adalah tidak bisa
mengukur waktu pada saat jam malam. Sebagian besar jam matahari menunjukkan
waktu matahari nyata. Dengan variasi rancangan yang kecil, jam matahari dapat
pula mengukur waktu standar serta waktu musim panas.
2.
Matahari sebagai Penentu
Waktu dalam ruang lingkup Falak atau Astronomi Islam
Mereka bertanya kepadamu tentang hilal. Katakanlah,
"Hilal itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi badat) haji...
(QS 2:189).[12] Hilal
(bulan sabit pertama yang bisa diamati) digunakan sebagai penentu waktu ibadah.
Perubahan yang jelas dari hari ke hari menyebabkan bulan dijadikan penentu
waktu ibadah yang baik. Bukan hanya umat islam yang menggunakan bulan sebagai
penentu waktu kegiatan keagamaan. Umat Hindu menggunakan bulan mati sebagai
penentu hari Nyepi. Umat Budha menggunaka bulan purnama sebagai penentu waktu
Waisak. Umat Kistiani menggunakan purnama pertama setelah vernal equinox (21
Meret) sebagai penentu hari Paskah.
Islam mengakui matahari dan bulan sebagai penentu waktu (QS
6:96; 10:5) karena keduanya mempunyai periode peredaran yang teratur yang dapat
dihitung (QS 55:5). Matahari digunakan untuk penentu pergantian tahun yang
ditandai dengan siklus musim. Kegiatan yang berkaitan dengan musim (seperti
pertanian, pelayaran, perikanan, migrasi) tentu menggunakan kalender matahari.[13]
Namun, kalender matahari tidak bisa menentukan pergantian
hari dengan cermat. Padahal untuk kegiatan agama kepastian hari diperlukan.
Maka untuk kegiatan agama kalender bulan (qamariyah) digunakan. Pergantian hari
pada kalender bulan mudah dikenali hanya dengan melihat bentuk-bentuk bulan.
Hilal pada saat maghrib menunjukkan awal bulan. Bulan setengah pada saat
maghrib menunjukkan tanggal 7 atau 8 (tergantung pengamatan hilalnya). Dan
bulan purnama menunjukkan tanggal 14 atau 15 (tergantung pengamatan hilalnya).
Fase-fase bulan jelas waktu perubahannya dari bentuk sabit sampai kembali
menjadi sabit lagi (QS 36:39).[14]
Perlu diketahui bahwa dalam Kalender Hijriyah, sebuah hari
diawali sejak terbenamnya Matahari waktu setempat, dan penentuan awal bulan
(kalender) tergantung pada penampakan (visibilitas) Bulan (satelit). Karena
itu, satu bulan kalender Hijriyah dapat berumur 29 hari atau 30 hari. Dalam
al-Qur'an surat Yunus (10) ayat 5 dikatakan bahwa Tuhan memang sengaja
menjadikan matahari dan bulan sebagai alat menghitung tahun dan perhitungan
lainnya. Juga dalam Surat Ar Rahman (55) ayat 5 disebutkan bahwa matahari dan bulan
beredar menurut perhitungan. Karena ibadah-ibadah dalam Islam terkait langsung
dengan posisi benda-benda astronomis (khususnya matahari dan bulan) maka umat
Islam sudah sejak awal mula muncul peradaban Islam menaruh perhatian besar
terhadapa ilmu astronomi (disebut ilmu falak).
3.
Matahari dan Penentuan Jadwal
Sholat [15]
Dalam penentuan jadwal salat, data astronomi terpenting adalah
posisi matahari dalam koordinat horizon, terutama ketinggian atau jarak zenit.
Fenomena yang dicari kaitannya dengan posisi matahari adalah fajar (morning
twilight), terbit, melintasi meridian, terbenam, dan senja (evening twilight).
Dalam hal ini astronomi berperan menafsirkan fenomena yang disebutkan dalam
dalil agama (Al-Qur’an dan hadits Nabi) menjadi posisi matahari. Sebenarnya
penafsiran itu belum seragam, tetapi karena masyarakat telah sepakat menerima
data astronomi sebagai acuan, kriterianya relatif mudah disatukan.
Di dalam hadits disebutkan bahwa waktu shubuh adalah sejak terbit
fajar shidiq (sebenarnya) sampai terbitnya matahari. Di dalam Al-Quran secara
tak langsung disebutkan sejak meredupnya bintang-bintang (Q.S. 52:49). Maka
secara astronomi fajar shidiq difahami sebagai awal astronomical twilight
(fajar astronomi), mulai munculnya cahaya di ufuk timur menjelang terbit
matahari pada saat matahari berada pada
kira‑kira 18 derajat di bawah horizon (jarak zenit z = 108o).
Saaduddin Djambek mengambil pendapat bahwa fajar shidiq bila z = 110o, yang
juga digunakan oleh Badan Hisab dan Ru’yat Departemen Agama RI. Fajar shidiq
itu disebabkan oleh hamburan cahaya matahari di atmosfer atas. Ini berbeda
dengan apa yang disebut fajar kidzib (semu) — dalam istilah astronomi disebut
cahaya zodiak — yang disebabkan oleh hamburan cahaya matahari oleh debu-debu
antarplanet.
Waktu dzhuhur adalah sejak matahari meninggalkan meridian, biasanya
diambil sekitar 2 menit setelah tengah hari. Untuk keperluan praktis, waktu
tengah hari cukup diambil waktu tengah antara matahari terbit dan terbenam.
Dalam penentuan waktu asar, tidak ada kesepakatan karena fenomena
yang dijadikan dasar pun tidak jelas. Dasar yang disebutkan di dalam hadits,
Nabi SAW diajak shalat asar oleh malaikat Jibril ketika panjang bayangan sama
dengan tinggi benda sebenarnya dan pada keesokan harinya Nabi diajak pada saat
panjang bayangan dua kali tinggi benda sebenarnya. Walaupun dari dalil itu
dapat disimpulkan bahwa awal waktu asar adalah sejak bayangan sama dengan
tinggi benda sebenarnya, ini menimbulkan beberapa penafsiran karena fenomena
seperti itu tidak bisa digeneralilasi sebab pada musim dingin hal itu bisa dicapai pada waktu dhuhur, bahkan
mungkin tidak pernah terjadi karena bayangan selalu lebih panjang daripada
tongkatnya.
Ada yang berpendapat tanda masuk waktu asar bila bayang-bayang
tongkat panjangnya sama dengan panjang bayangan waktu tengah hari ditambah satu
kali panjang tongkat sebenarnya dan pendapat lain menyatakan harus ditambah dua
kali panjang tongkat sebenarnya. Pendapat yang memperhitungkan panjang bayangan
pada waktu dzhuhur atau mengambil dasar tambahannya dua kali panjang tongkat
(di beberapa negara Eropa) dimaksudkan untuk mengatasi masalah panjang bayangan
pada musim dingin. Badan Hisab dan Ru’yat Departemen Agama RI menggunakan
rumusan: panjang bayangan waktu asar = bayangan waktu dzhuhur + tinggi
bendanya; tan(za) = tan(zd) + 1. Saya berpendapat bahwa makna hadits itu dapat
difahami sebagai waktu pertengahan antara dhuhur dan maghrib, tanpa perlu
memperhitungkan jarak zenit matahari. Hal ini diperkuat dengan ungkapan ‘salat
pertengahan’ dalam Al-Qur’an S. 2:238 yang ditafsirkan oleh banyak mufassir
sebagai salat asar. Kalau pendapat ini yang digunakan, waktu salat asar akan
lebih cepat sekitar 10 menit dari jadwal salat yang dibuat Departemen Agama.
Waktu maghrib berarti saat terbenamnya matahari. Matahari terbit
atau berbenam didefinisikan secara astronomi bila jarak zenith z = 90o50′ (the
Astronomical almanac) atau z = 91o bila memasukkan koreksi kerendahan ufuk
akibat ketinggian pengamat 30 meter dari permukaan tanah. Untuk penentuan waktu
salat maghrib, saat matahari terbenam biasanya ditambah 2 menit karena ada
larangan melakukan salat tepat saat matahari terbit, terbenam, atau kulminasi
atas.
Waktu isya ditandai dengan mulai memudarnya cahaya merah di ufuk
barat, yaitu tanda masuknya gelap malam (Al-Qur’an S. 17:78). Dalam astronomi
itu dikenal sebagai akhir senja astronomi (astronomical twilight) bila jarak
zenit matahari z = 108o).
Posisi matahari telah dapat diformulasikan dalam algoritma
sederhana dengan kecermatan plus-minus 2 menit untuk daerah lintang antara 65
derajat LU dan 65 derajat LS. Algoritma itu telah saya ubah menjadi program
komputer sederhana penentuan jadwal salat. Untuk daerah dengan lintang
lebih dari 48 derajat pada musim panas
senja dan fajar bersambung (continous twilight) sehingga dalam program saya itu
waktu isya dan shubuh diqiyaskan (disamakan) pada waktu normal sebelumnya.
4.
Matahari dalam Penentuan
Waktu Awal Bulan
Kalender Islam ditentukan berdasarkan penampakan hilal
(bulan sabit pertama) sesaat sesudah matahari terbenam. Alasan utama dipilihnya
kalender bulan (qamariyah) -- walau tidak dijelaskan di dalam Hadits maupun
Al-Qur'an -- nampaknya karena alasan kemudahan dalam menentukan awal bulan dan
kemudahan dalam mengenali tanggal dari perubahan bentuk (fase) bulan. Ini
berbeda dari kalender syamsiah (kalender matahari) yang menekankan pada
keajegan (konsistensi) terhadap perubahan musim, tanpa memperhatikan tanda
perubahan hariannya. Karena kemudahan itu -- orang awam pun bisa menentukan
kapan pergantian bulan -- sistem kalender tradisional banyak yang bertumpu pada
kalender bulan. Pada masyarakat yang menghendaki adanya penyesuaian dengan
musim, diadakan sistem kalender gabungan: qamari-syamsiah (luni-solar
calendar), seperti kalender Yahudi dan kalender Arab sebelum masa kerasulan
Muhammad SAW. Pada sistem gabungan ini ada bulan ketiga belas setiap 3 tahun
agar kalender qamariah tetap sesuai dengan musim. Nama bulan pun disesuaikan
dengan nama musimnya, seperti Ramadan yang semula berarti bulan musim panas
terik. Dalam ajaran Islam penambahan bulan itu (disebut nasi) dilarang karena
biasanya bulan ke-13 itu diisi dengan upacara atau pesta yang dipandang sesat
(Al-Qur'an S. 9:37).
Karena waktu ibadah sifatnya lokal, penentuannya yang
berdasarkan penampakan hilal memang merupakan cara yang termudah. Masyarakat di
suatu tempat cukup memperhatikan kapan hilal teramati untuk menentukan saat
ibadah puasa Ramadan, beridul fitri, beridul adha, atau saat berhaji (khusus di
daerah sekitar Mekkah). Seandainya cuaca buruk, Nabi Muhammad SAW memberikan
petunjuk praktis: genapkan bulan sekarang menjadi 30 hari, karena tidak mungkin
bulan qamariyah lebih dari 30 hari. Tentunya ini menuntut pengamatan hilal yang
lalu. Karena sifatnya lokal, apapun keputusan di suatu daerah sah berlaku untuk
daerah itu. Daerah lain mungkin saja berbeda.
Penentuan
awal bulan yang saat ini sering membingungkan hanyalah merupakan akibat
perkembangan zaman. Faktor-faktor penyebab kerumitan itu antara lain: tuntutan
penyeragam waktu ibadah untuk daerah yang luas, bahkan ada pula yang menuntut
penyeragaman yang sifatnya mendunia tanpa menyadari bahwa banyak kendala yang
dengan teknologi maju saat ini belum bisa teratasi; ru'yatul hilal (pengamatan
hilal) saat ini tidak murni lagi, hisab secara tak sadar telah mendominasi
sebagian besar pengamat -- padahal hisab (perhitungan) yang mereka gunakan
banyak yang tidak akurat. kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah
yang ditetapkan berdasarkan Musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam,
Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS), dan dipakai secara resmi untuk
penentuan awal bulan Hijriyah pada Kalender Resmi Pemerintah, dengan prinsip : Awal
bulan (kalender) Hijriyah terjadi jika:
Ø Pada
saat matahari terbenam, ketinggian (altitude) Bulan di atas cakrawala minimum 2°, dan
sudut elongasi (jarak lengkung) Bulan-Matahari minimum 3°, atau
Ø Pada
saat bulan terbenam, usia Bulan minimum 8 jam, dihitung sejak ijtimak.
5.
Matahari sebagai Penentu
Waktu Gerhana
Gerhana Bulan selalu terjadi pada saat
Bulan berada pada fase purnama. Namun demikian, tidak setiap purnama terjadi
gerhana Bulan. Hal ini karena orbit Bulan mengelilingi Bumi tidak bertepatan
dengan orbit Bumi mengelilingi Matahari (disebut ekliptika), tetapi membentuk
sudut sekitar 5,2o. Apabila fase bulannya purnama dan posisinya di titik
perpotongan orbit Bulan dan ekliptikalah, gerhana Bulan akan terjadi. Saat itu
fase bulan sedang purnama, dan posisinya hampir di titik perpotongan orbit
Bulan dan ekliptika.
Gerhana
Bumi dan bulan adalah benda langit yang tidak memiliki cahaya sendiri. Jika
bulan atau bumi terkena cahaya matahari maka pada bagian belakang bulan atau
bumi akan terbentuk bayangan. Karena ukuran matahari jauh lebih besar daripada
ukuran bulan atau bumi maka terbentuk dua macam bayangan berbentuk kerucut,
yaitu umbra dan penumbra. Umbra atau bayangan inti bayangan di bagian tengah
yang sangat gelap. Penumbra atau bayangan semu adalah bayangan samar-samar di
sekeliling umbra. Jika dalam peredarannya, bumi memasuki bayangan bulan atau
bulan memasuki bayangan bumi maka akan terjadi gerhana. Ada dua macam gerhana,
yaitu gerhana bulan dan gerhana matahari.
a.
Gerhana Bulan
Gerhana bulan terjadi pada saat bulan
purnama. Gerhana bulan terjadi jika bumi berada di antara matahari dan bulan,
serta matahari, bumi, dan bulan berada pada satu garis lurus, sehingga bulan
memasuki bayang-bayang bumi, atau cahaya matahari ke arah bulan terhalang oleh
bumi. Gerhana bulan terjadi ketika bulan berada di penumbra dan umbra yang
berlangsung selama ± 6 jam. Ketika bulan berada di penumbra disebut gerhana
bulan penumbra. Ketika bulan sebagian berada di penumbra dan sebagian lagi
berada di umbra disebut gerhana bulan sebagian. Sedangkan, ketika bulan berada
di umbra disebut gerhana bulan total. Gerhana bulan total berlangsung selama ±1
jam 40 menit.
b. Gerhana
Matahari
Gerhana
matahari terjadi pada saat bulan baru. Pada saat gerhana matahari, bulan di
antara matahari dan bumi, serta matahari, bulan, dan bumi berada pada satu
garis lurus. Sehingga bumi memasuki bayang-bayang bulan, atau cahaya matahari
ke bumi terhalang oleh bulan. Perhatikan gambar berikut! Gerhana matahari
dibedakan atas gerhana matahari sebagian, gerhana matahari total, dan gerhana
matahari cincin. Gerhana matahari total adalah gerhana matahari yang diamati
dari daerah umbra. Gerhana matahari total berlangsung selama ± 6 menit. info
Harap mengulang inquiryGerhana matahari sebagian adalah gerhana matahari yang
diamati dari daerah penumbra. Orbit bumi dan orbit bulan berbentuk elips. Oleh
karena itu, jarak bumi-bulan tidak selalu sama tetapi berubah-ubah. Ketika
terjadi gerhana matahari cincin; letak bumi-bulan pada jarak terjauh sehingga:
a. kerucut umbra bulan lebih pendek daripada jarak bumi-bulan; dan b. bumi
terkena perpanjangan kerucut umbra bulan. Perhatikan gambar di samping! Jangan
sekali-kali melihat langsung pada saat terjadi gerhana matahari! Pada saat
gerhana, sinar matahari masih sangat menyilaukan jika dilihat langsung oleh
mata kita.
6. Matahari
sebagai Penentu Arah Kiblat[16]
Rasdul
Qiblah sebuah solusi. Kesempatan yang sangat tepat untuk mengetahui secara
persis arah kiblat adalah saat posisi matahari berada tepat di atas ka'bah
(rasdul Qiblah). Posisi matahari tepat berada di atas Ka'bah akan terjadi
ketika lintang Ka'bah sama dengan deklinasi matahari, pada saat itu matahari
berkulminasi tepat di atas Ka'bah. Dengan demikian arah jatuhnya bayangan benda
yang terkena cahaya matahari itu adalah arah kiblat.
Dalam
setiap tahun akan ditemukan dua kali posisi matahari di atas Ka'bah. Pada tahun
ini kesempatan tersebut datang pada tanggal 28 Mei 2007 pukul 11.57 LMT dan 16
Juli 2007 pukul 12.06 LMT. Bila waktu Mekah (LMT) dikonversi menjadi waktu
Indonesia bagian barat (WIB) maka harus ditambah dengan 4 jam 21 menit sama
dengan pukul 16.18 WIB dan 16.27 WIB. Oleh karena itu, setiap tanggal 27 Mei
atau 28 Mei pukul 16.18 WIB dapat
mengecek arah kiblat dengan mengandalkan bayangan matahari yang tengah berada
di atas Ka'bah. Begitu pula setiap tanggal 15 Juli atau 16 Juli juga dapat
dilakukan pengecekan arah kiblat dengan metode tersebut.
Penentuan
arah kiblat menggunakan bayangan matahari ini merupakan cara yang paling
sederhana dan bebas hambatan. Penentuan dengan kompas masih bisa diganggu oleh
pengaruh medan magnet. Dengan demikian arah mata angin yang ditetapkan berdasar
jarum kompas, belum tentu menentukan arah yang sebenarnya.
Dengan
mengandalkan bayangan matahari yang tengah berada di atas Ka'bah, penentuan
arah kiblat tidak terganggu oleh apapun. Hambatan terjadi kalau pada saat itu
langit berawan. Dalam praktiknya, tidak perlu langkah yang rumit untuk
menentukan arah kiblat berdasar jatuhnya bayangan benda yang disinari matahari.
Pengamat (observer) cukup menggunakan tongkat atau benda lain sejenis untuk
diletakkan di tempat yang memperoleh cahaya matahari. Cahaya matahari yang
menyinari benda tersebut akan menghasilkan bayangan. Arah bayangan ini
merupakan arah kiblat.
Penentuan
arah kiblat dengan cara tersebut sejatinya bisa dilakukan di semua tempat di
permukaan bumi. Hanya saja, waktunya berbeda. Area yang terpisah dari Ka'bah
kurang dari 90 derajat, akan bisa melihat matahari yang posisinya sedang berada
di atas Ka'bah. Wilayah yang terpisah lebih dari 90 derajat dari Ka'bah, sudah
gelap saat matahari berada di posisi tersebut, Wilayah Indonesia bagian Barat
(WIB) dan tengan (WITA), masih bisa menempuh cara ini untuk mengetahui arah
kiblat. Sementara itu, Wilayah Indonesia bagian Timur (WIT) harus melakukannya
di waktu yang lain. Dengan kata lain, cara ini dapat digunakan selama masih
bisa melihat matahari.
Fenomena
ini membuka mata bahwa selain sebagai sumber energi, matahari juga merupakan
alat untuk menciptakan bayang-bayang, dengan bayang-bayang tersebut manusia
bisa menentukan arah. Penentuan arah kiblat dengan cara tersebut jauh lebih
sederhana dibandingkan penentuan dengan cara lain. Tanpa mengandalkan cahaya
maatahari, untuk menentukan arah kiblat perlu menemukan tiga hal penting, yakni
posisi pengamat, posisi Ka'bah, dan arah mata angin.
Posisi
pengamat berdasar lintang dan bujur geografis bisa ditentukan dengan
mengandalkan global positioning system (GPS). Cara yang sama juga bisa
digunakan untuk menentukan posisi Ka'bah. Langkah yang agak rumit harus
ditempuh untuk menentukan arah mata angin secara tepat. Jarum yang ditunjukkan
kompas, masih harus dipadu dengan data soal posisi kutub utara magnetik bumi.
Setelah menemukan ketiganya, masih diperlukan proses perhitungan yang tidak
sederhana.
Oleh karena itu dianjurkan
agar umat Islam menjadikan kesempatan posisi matahari di atas Ka'bah pada
tanggal 28 Mei 2007 hari ini sebagai momentum penentuan arah kiblat. Penentuan
ini juga perlu dilakukan di lapangan yang sering dipakai salat Id, juga mushala
di perkantoran.
[1]
Susiknan
Azhari, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, Yogyakarta
: Suara Muhammadiyah, 2004, hlm. 14
[2] Muhyiidin
Khazin, Kamus Ilmu Falak, Yogyakarta : Buana Pustaka, 2005, hlm. 77
[3]
Tono Saksono, mengkompromikan
Rukyat dan Hisab, Jakarta : Amythas Publicita, 2007, hlm. 24
[4]
Den Hollander
, Ilmu
Falak untuk Sekolah Menengah di Indonesia, Jakarta : J.B. Wolters, 1951, hlm.
99
[6]
Tono Saksono, Op.
cit. hlm, 25
[7]
Danang Endarto,
Op. cit, hlm. 92
[8]
Muhyiddin
Khazin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta : Buana Pustaka,
2004, hlm. 125
[11]
Anton Ramdan, Islam
dan Astronomi, Bee Media Indonesia, hlm. 108
[12]
Departemen
Agama Republik Indonesia, Op. cit
[13] Lihat
selengkapnya dalam Artikel Hilal dan Masalah Beda Hari Raya yang disusun
oleh T. Djamaluddin (Staf Peneliti Bidang Matahari dan Lingkungan Antariksa,
LAPAN, Bandung)
[14]
Departemen
Agama Republik Indonesia, Op. cit
[15]
Lihat
selengkapnya dalam artikel T. Djamaluuddin, Matahari dan Penentuan Jadwal
sholat, Peneliti matahari dan lingkungan Antariksa, LAPAN Bandung. Dan
dimuat dalam tabloid Hikmah, minggu III Juli 1995
[16]
Lihat
selengkapnya dalam Artikel Susiknan Azhari, saatnya mengecek kembali arah
kiblat
No comments:
Post a Comment