A.
Sejarah Bulan Sebagai Penentu Waktu
Bulan berasal dari bahasa Latin “luna” yang kemudian sering
disebut “lunar”. Bulan adalah satu-satunya satelit alam milik Bumi yang
merupakan satelit alami terbesar ke-5 di Tata Surya. Bulan yang ditarik oleh
gaya gravitasi Bumi tidak akan jatuh ke Bumi disebabkan oleh gaya sentrifugal
yang timbul dari orbit Bulan mengelilingi Bumi. Besarnya gaya sentrifugal Bulan
sedikit lebih besar dari gaya tarik-menarik antara gravitasi Bumi dan Bulan.
Hal ini menyebabkan Bulan semakin menjauh dari Bumi dengan kecepatan sekitar
3,8 cm/tahun.[1]
Asal-usul Bulan tidak diketahui secara pasti. Akan tetapi,
para ilmuwan menemukan bukti penting bahwa Bulan berasal dari tabrakan Bumi
dengan planet kecil bernama Theira sekitar 3 milyar tahun yang lalu. Tabrakan
itu menghasilkan debu yang sangat banyak dan mengorbit di sekeliling Bumi yang
kemudian secara berangsur-angsur debu-debu tersebut mengumpul dan berubah
menjadi Bulan. Pada awalnya, jarak Bulan pada pertama kalinya hanya sekitar
30.000 mil atau 15 kali lebih dekat dari jarak Bulan dengan Bumi sekarang.[2]
Parmenides dari Elea (abad ke-6 SM) menggambarkan Bulan
dalam puisinya sebagai “cahaya asing yang menyinari malam dan berputar
mengelilingi Bumi.” Pada baris puisi berikutnya, Parmenides melukiskan
karakteristik Bulan yang “selalu memusatkan pandangannya pada sorotan cahaya
Matahari.” Orang yang tahu, tentu akan berpendapat bahwa puisi Parmenides
tersebut merupakan gambaran nyata dari cahaya Bulan yang sebenarnya hanya lah
pantulan sinar Matahari. Baris kedua puisi tersebut benar-benar membuka
pengetahuan manusia pada zaman dahulu bahwa bagian Bulan yang bercahaya selalu
berhadapan dengan Matahari. Akan tetapi, hal ini tidak begitu berpengaruh
terhadap pemahaman mengenai penyebab fisik dari perubahan cahaya Bulan.[3]
Parmenides merupakan satu-satunya orang yang mengetahui
(pada saat itu) bahwa bagian Bulan yang bercahaya selalu menghadap ke arah
Matahari tanpa menyadari bahwa cahaya Bulan tersebut sebenarnya adalah pantulan
sinar Matahari. Ungkapan dari Parmenides ini secara garis besar sudah mampu
menuntaskan penjelasan tentang fase-fase Bulan yang kemudian dihubungkan oleh
dua orang bernama Vitruvius dan Berosus. Menurut pandangan ini, Bulan memiliki
bentuk seperti bola yang salah satu bagiannya bercahaya dan bagian lainnya
berwarna biru. Bagian permukaan Bulan yang bercahaya selalu menghadap ke
Matahari, terkena sinar dan panas yang cukup besar, terus berada di antara
kilauan sinar Matahari. Sementara Bulan melakukan perjalanan melewati
bintang-bintang, permukaan Bulan yang tidak bercahaya berangsur-angsur
menghadap ke arah Matahari. Oleh sebab itu, bagian yang bercahaya akan selalu
mengarah ke sinar Matahari. Sehingga kita bisa mengetahui perubahan fase
sebagai penanda pergantian bulan.[4]
Berosus adalah seorang astronom dan astrolog Chaldaean,
Babilonia, yang meninggal pada sekitar 300 SM. Hasil penelitiannya baru
diketahui kemudian oleh para penulis Yunani dan Roma yang berusaha menjaga dan
mempertahankan beberapa catatannya yang masih terpisah-pisah dan belum lengkap.
Menurut Vitruvius, Berosus hidup di pulau Cos, di mana ia membuka sebuah
sekolah dan memperkenalkan Astrologi kepada masyarakat Yunani. Berosus
memberikan sumbangan pengetahuan yang cukup besar dalam perkembangan Astronomi
Babilonia dan Yunani.[5]
Mayoritas penduduk Yunani mengikuti teori Anaxagoras dalam
menjelaskan penyebab terjadinya fase-fase dan gerhana Bulan. Anaxagoras berasal
dari Clazomenae, daerah barat Asia kecil (barat Izmir, kota Turki modern) dan
hidup pada sekitar 480 SM. Kemudian Anaxgoras pergi ke Athena, tempat yang
memungkinkannya memperoleh dukungan finansial dan fasilitas yang memadai yang
berasal dari Pericles, seorang pemimpin poltik di sana.[6]
Anaxagoras menjelaskan fase-fase Bulan secara tepat dengan
berkata bahwa cahaya Bulan diperoleh dari sinar Matahari. Plato menyebut teori
tersebut sebagai “sebuah penemuan baru Anaxagoras” yang memaparkan bahwa
Bulan menerima cahayanya dari Matahari. Kemudian Hippolytus dan Aëtius berkata
bahwa Anaxagoras juga memberikan penjelasan mengenai proses gerhana Matahari
yang dimulai dengan masuknya Bulan ke daerah yang terletak di antara Matahari
dan Bumi serta proses gerhana Bulan dengan masuknya Bulan ke dalam bayangan
Bumi.[7]
B.
Data-data Bulan
Bulan merupakan benda langit berbatu dan memiliki diameter
3.476 km dan jarak rata-rata ke Bumi sebesar 384.000 km.[8]
Menurut Muhyiddin Khazin, Bulan mempunyai diameter 3.480 km dan jarak rata-rata
ke Bumi 384. 421 km.[9]
Bulan memiliki massa dengan perbandingan 1:81 dari massa Bumi; berat jenis (air
= 1) 3,3; perbandingan gravitasi 1:6 dari gravitasi Bumi. Karena perbandingan
gravitasi yang kecil (1:6), maka orang yang berbobot 60 kg di Bumi hanya
memiliki berat bedan sebesar 10 kg di Bulan. Periode rotasi Bulan sama dengan
periode revolusinya saat mengelilingi Bumi yang membutuhkan waktu 27 ⅓ hari (27 hari 7 jam 43 menit 12
detik). Waktu tersebut merupakan satu kali putaran revolusi Bulan terhadap Bumi
(waktu yang diperlukan untuk mengorbit Bumi pada lintasan sekali putaran).
Periode waktu ini disebut satu bulan Sideris. Revolusi Bulan ini dijadikan
sebagai salah satu dasar perhitungan kalender, yaitu Hijriyah.[10]
Rotasi yang sinkron dengan revolusinya ini akibat distribusi
massa Bulan yang tidak simetris yang mengakibatkan gaya gravitasi Bumi dapat
mengikat salah satu belahan Bulan yang selalu mengahadap ke Bumi. Sumbu putar
rotasi Bulan berbentuk miring (busur) sebesar 1,524 derajat terhadap sumbu
putar Bumi, sedangkan bidang orbitnya membentuk busur 5,1454 derajat.[11]
Sejak abad ke-17 M, Galileo dan ahli Astronomi lain telah
melakukan pengamatan teleskop atas Bulan dan telah mampu melihat kawah-kawah
yang tersebar tanpa batas di permukaannya. Ternyata Bulan tidak memiliki
kepadatan yang sama dengan Bumi. Langit Bulan selalu gelap karena tidak
mempunyai atmosfer padahal untuk melakukan proses refraksi sinar dibutuhkan
atmosfer.[12]
Perbandingan gravitasi yang kecil (bila dibandingkan Bumi)
membuat Bulan tidak sanggup menahan atmosfer apapun. Hal ini mengakibatkan kondisi
Bulan yang tidak berudara dan berdampak pada tinggi suhu yang mencapai hingga
lebih dari 100º C selama siang hari di Bulan, tetapi berubah secara ekstrim
pada malam hari sampai pada titik beku lebih rendah dari –150º C.
Bulan tidak
memiliki atmosfer yang dapat menahan jatuhnya benda-benda langit ke permukaan.
Akibatnya, banyak terdapat lubang di permukaan Bulan. Akibat lain dari tidak
adanya atmosfer di Bulan yaitu puing-puing bekas tumbukan meteorit jutaan tahun
lalu tetap ada sampai sekarang.[13]
Struktur dalam Bulan tidak seperti
Bumi. Kerak Bulan lebih tebal meski jenis batuannya jauh lebih sedikit daripada
di Bumi. Lapisan-lapisan yang menyusun Bulan terdiri dari inti dalam, inti
luar, mantel, dan kerak.[14]
Data Statistik Bulan:[15]
Diameter
|
3.476 km
|
Luas permukaan
|
37.960.000 km2
|
Keliling di equatornya
|
10.920 km
|
Rentang topografi
|
16 km
|
Jarak rata-rata dari Bumi
|
384.400 km
|
Jarak dari Bumi pada apogee
|
406.700 km
|
Jarak dari Bumi pada perigee
|
356.400 km
|
Jarak cahaya dari Bumi
|
1,3 detik
|
Pertambahan jarak rata-rata dari Bumi
|
3,8 cm/tahun
|
Magnitude saat quartal I
|
-10,20 mag
|
Magnitude saat quartal III
|
-10.05 mag
|
Magnitude saat purnama
|
-10,55 mag
|
Bulan Sideris
|
27 hari 7 jam 43 menit
|
Bulan Sinodis
|
29 hari 12 jam 44 menit
|
Kecepatan orbit rata-rata
mengelilingi Bumi
|
3.681 km/jam
|
Kecepatan sudut rata-rata
|
33’/jam
|
Gerakan harian rata-rata terhadap
bintang
|
13,176º
|
Kemiringan bidang orbit terhadap
bidang ekliptika
|
5º8’43’’
|
Penggepengan orbit Bulan terhadap
Bumi
|
0,0549
|
C.
Pergerakan Bulan
Sebagai satelit alam Bumi, Bulan memiliki dua gerak penting
yang mempunyai pengaruh secara langsung terhadap Bumi, yaitu rotasi dan
revolusi Bulan.
1.
Rotasi Bulan
Rotasi Bulan yaitu perputaran Bulan pada porosnya dari arah
Barat ke Timur. Satu kali berotasi memakan waktu sama dengan satu kali
revolusinya mengelilingi Bumi. Akibatnya, permukaan Bulan yang menghadap ke
Bumi relatif tetap. Adanya sedikit perubahan permukaan Bulan yang mengahadap ke
Bumi juga diakibatkan adanya gerak angguk Bulan pada porosnya. Hanya saja gerak
angguk Bulan ini kecil sekali sehingga dapat diabaikan.[16]
2.
Revolusi Bulan
Revolusi Bulan adalah perputaran Bulan mengelilingi Bumi
dari arah Barat ke Timur. Satu kali penuh revolusi Bulan memerlukan waktu
rata-rata 27 hari 7 jam 43 menit 12 detik. Waktu rata-rata ini disebut satu
bulan Sideris atau Syahr Nujumi.[17]
Revolusi Bulan ini dipakai sebagai dasar dalam perhitungan Hijriyah dan Saka
Jawa.[18]
Akan tetapi, yang dipergunakan dalam perhitungan ini bukan waktu sideris,
melainkan waktu Sinodis. Waktu sinodis atau Syahr Iqtironi yang
berjumlah 29 hari 12 jam 44 menit 2,8 detik.[19]
Kalender yang penentuan panjang satu tahunnya menggunakan
siklus sinodik Bulan disebut kalender Bulan (Lunar Calender). Siklus ini
bisa dikatakan sebagai siklus dua fase Bulan yang sama secara berurutan. Umur
kalender Bulan (12 kali siklus sinodik Bulan) adalah 354 hari 8 jam 48 menit 36
detik.[20]
Bulan beredar dalam orbitnya yang mengitari Bumi dengan
memotong bidang ekliptika sebesar 05º08′52″. Dengan demikian, bidang edar Bulan
tidak berimpit dengan bidang edar Bumi. Jika kedua bidang edar tersebut (bidang
edar Bumi dan Bulan) berimpit, maka setiap bulan akan terjadi dua kali gerhana,
yaitu gerhana Matahari pada awal bulan dan gerhana Bulan pada pertengahan
bulan. Meskipun begitu, gerhana Matahari atau Bulan setiap tahun masih sering
terjadi (sekitar 3 atau 4 kali). Hal ini disebabkan oleh kecilnya sudut potong
antara bidang edar tersebut dengan ekliptika.[21]
D.
Fase-fase Bulan
Bulan adalah benda langit yang tidak mempunyai sinar.
Cahayanya yang tampak dari Bumi sebenarnya merupakan sinar Matahari yang
dipantulkan oleh Bulan. Dari hari ke hari bentuk dan ukuran cahaya Bulan
berubah-ubah sesuai dengan posisi Bulan terhadap Matahari dan Bumi.[22]
Hal ini dinamakan fase Bulan (Moon’s phase) dan terulang setiap sekitar
29,5 hari, yaitu waktu yang diperlukan Bulan untuk mengelilingi Bumi. Empat
fase utama yang penting bagi Bulan antara lain:[23]
1.
Bulan Baru (New Moon)
2.
Kuartal Pertaama (First Quarter)
3.
Bulan Purnama (Full Moon)
4.
Kuartal Ketiga atau Terakhir (Third Quarter atau Last
Quarter)
Empat fase di atas merupakan fase utama
Bulan. Selain fase utama tersebut, juga terdapat delapan fase yang lebih
detail. Delapan fase ini dapat dibedakan dalam proses sejak waktu hilal (Bulan
baru) muncul sampai tidak ada (tidak tampak). Pada dasarnya, ini menunjukkan
delapan tahap bagian permukaan Bulan yang terkena sinar Matahari dan kenampakan
geosentris bagian yang tersinari ini yang dapat dilihat dari Bumi. Kondisi yang
dijelaskan dalam tahapan detail fase Bulan ini dapat berlaku di lokasi manapun
di permukaan Bumi. Fase-fase tersebut antara lain:[24]
1.
Fase Pertama
Pada saat Bulan persis berada diantara Bumi dan Matahari
―yaitu pada saat ijtima’― maka seluruh bagian Bulan yang tidak menerima sinar
Matahari persis menghadap ke Bumi. Akibatnya, saat itu Bulan tidak tampak dari
Bumi. Peristiwa tersebut dinamakan Muhak atau Bulan Mati.[25]
Begitu Bulan bergerak, maka ada bagian Bulan yang menerima
sinar dari Matahari terlihat dari Bumi. Bagian Bulan ini terlihat sangat kecil
dan berbentuk sabit. Peristiwa ini lah yang disebut dengan Hilal awal
bulan.[26]
Dalam posisi (fase) ini, bersamaan dengan gerakan Bulan
mengelilingi Bumi, kita melihat bagian Bulan yang terkena sinar Matahari semula
sangat kecil berbentuk sabit (crescent) yang semakin hari semakin
membesar. Yang harus diperhatikan, dan sering menjadi anggapan umum yang salah
adalah bagian Bulan yang gelap adalah semata-mata karena tidak terkena sinar
Matahari, bukan karena terhalang Bumi (karena peristiwa Bulan tertutup bayangan
Bumi disebut gerhana Bulan, dan kedua peristiwa ini jelas berbeda). Saat Bulan
sabit pertama kali dapat dilihat inilah yang disebut Hilal yang menandai
awal sebuah Bulan dalam kalender Hijriyah dan kalender bangsa Yahudi (kalender
Yahudi juga menggunakan kondisi hilal ini sebagai hari pertama dari sebuah
bulan). Dalam ilmu Astronomi, proses semakin besarnya Bulan ini dinamakan waxing
crescent moon.[27]
Bulan baru sebetulnya terbit di sebelah timur hampir
bersamaan dengan terbitnya Matahari, berada tepat di tengah langit juga sekitar
waktu tengah hari, dan tenggelam juga hampir bersamaan dengan tenggelamnya Matahari
di barat. Namun, selama sejak terbit sampai hampir tenggelam, kita tidak dapat
melihat Bulan Sabit (Hilal) ini karena intensitas cahayanya kalah jauh dengan
sinar Matahari. Baru ketika menjelang hari tenggelam, intensitas cahaya
Matahari semakin lemah, sehingga tampaklah Bulan Sabit (Hilal) tersebut.[28]
2.
Fase Kedua
Semakin jauh Bulan bergerak meninggalkan titik ijtima’,
semakin besar pula cahaya Bulan yang tampak dari Bumi. Hal ini disebabkan
adanya bagian Bulan yang terkena sinar Matahari terus bertambah besar sampai
pada suatu posisi di mana Bulan kelihatan separuh. Ini terjadi sekitar tujuh
hari kemudian setelah bulan mati, Bulan akan tampak dari Bumi dengan bentuk
setengah lingkaran. Bentuk seperti ini disebut Kwartir I atau Tarbi’
Awwal (Kuartal Pertama).[29]
Bila pada kondisi fase pertama Bulan segera menyusul
tenggelam mengikuti tenggelamnya Matahari beberapa menit kemudian, pada fase
kedua ini Bulan baru tenggelam sekitar enam jama kemudian setelah tenggelamnya
Matahari atau sekitar tengah malam. Tenggelamnya Bulan pada fase ini tidak lain
adalah akibat dari gerakan rotasi Bumi pada porosnya selama kurang lebih 24
jam. Bulan lebih lambat sekitar 6 jam daripada Matahari. Pada kondisi ini Bulan
terbit dari sebelah timur ketika sekitar tengah hari, berada tepat di tengah
langit kita pada saat sekitar tenggelamnya Matahari, dan tenggelam di ufuk
barat sekitar tengah malam.[30]
3.
Fase Ketiga
Dalam beberapa hari berikutnya, Bulan akan tampak semakin
membesar. Dalam istilah Astronomi, fase ini disebut waxing gibbous moon
atau waxing humped moon. Waktu terbit Bulan menjadi semakin melambat
dibandingkan dengan Matahari. Bulan terbit pada sekitar jam 15.00, tepat di
tengah langit kita pada sekitar 21.00, dan tenggelam pada sekitar jam 03.00
pagi.[31]
4.
Fase Keempat
Kemudian pada pertengahan Bulan (sekitar tanggal 15 bulan
Qomariyah), sampailah pada saat di mana Bulan pada titik oposisi dengan
Matahari ―yaitu saat istiqbal―. Pada saat ini, Bumi persis sedang berada di
antara Bulan dan Matahari. Bagian Bulan yang sedang menerima sinar Matahari
hampir seluruhnya terlihat dari Bumi. Akibatnya Bulan tampak seperti bulatan
penuh. Peristiwa ini dinamakan Badr atau Bulan Purnama.[32]
Pada kondisi purnama, Bulan terlambat 12 jam daripada Matahari.
Ini berarti Bulan akan terbit bersamaan dengan tenggelamnya Matahari, berada
tepat di tengah langit kita pada tengah malam, dan tenggelam saat Matahari
terbit. Bila Bulan betul-betul pada posisi yang segaris dengan Bumi dan
Matahari dalam kondisi ini, maka akan terjadi gerhana Bulan di tempat tersebut
karena bayangan Bumi tepat menutupi Bulan.[33]
5.
Fase Kelima
Sejak purnama sampai dengan terjadinya gelap total tanpa
Bulan, bagian Bulan yang terkena sinar Matahari kembali mengecil di bagian dari
sisi lain dalam proses waxing gibbous moon. Dalam Astronomi, proses ini
disebut waning sehingga Bulan yang berada dalam kondisi ini dinamakan waning
gibbous moon atau waning humped moon. Pada fase ini, Bulan sekitar 9
jam lebih awal daripada Matahari. Ini berarti Bulan terbit di sebelah timur
pada sekitar pukul 21.00, berada tepat di tengah langit kita pada sekitar jam
03.00 pagi, dan tenggelam pada saat sekitar jam 09.00.[34]
6.
Fase Keenam
Sekitar 3 minggu setelah hilal, bagian permukaan Bulan akan
tampak separuh kembali (setengah lingkaran). Namun, bagian yang tampak dari
Bumi ini arahnya kebalikan dari kuartal pertama. Fase yang demikian dinamakan kuartal
terakhir atau kuartal ketiga. Pada fase ini, Bulan terbit lebih awal
sekitar 6 jam daripada Matahari. Ini berarti Bulan terbit di sebelah timur pada
sekitar pukul 24.00 (tengah malam), tepat berada di tengah langit kita pada
sekitar Matahari terbit, dan tenggelam di ufuk barat pada sekitar tengah hari
(jam 12.00).[35]
Menurut Muhyiddin Khazin, proses dari tujuh hari setelah
bulan purnama yang membuat Bulan akan tampak dari Bumi dalam bentuk setengah
lingkaran lagi disebut Kwartir II atau Tarbi’ Sani.[36]
7.
Fase Ketujuh
Memasuki minggu akhir keempat sejak hilal, bentuk permukaan
Bulan yang terkena sinar Matahari semakin mengecil sehingga membentuk Bulan
sabit tua (waning crescent). Bulan terbit semakin mendahului Matahari
dalam rentan waktu sekitar 9 jam. Ini berarti Bulan terbit di ufuk timur pada
sekitar jam 03.00, tepat di tengah langit kita sekitar jam 09.00 pagi, dan
tenggelam di ufuk barat pada sekitar jam 15.00.[37]
8.
Fase Kedelapan
Pada posisi ini, Bulan berada pada arah yang sama terhadap Matahari.
Bagian Bulan yang terkena sinar Matahari adalah yang membelakangi Bumi. Dengan
demikian, bagian Bulan yang menghadap ke Bumi semuanya gelap. Ini merupakan
kondisi tanpa Bulan, di mana pada fase ini Bulan dan Matahari terbit dan
tenggelam hampir bersamaan. Dengan kata lain, Bulan terbit di ufuk timur
sekitar jam 06.00, berada di tengah langit kita pada sekitar jam 12.00 (tengah
hari), dan tenggelam di ufuk barat pada pukul 18.00. Karena sisi gelap Bulan
yang menghadap kita, maka kita tidak dapat melihat Bulan kecuali bila terjadi
gerhana Matahari. Dalam terminologi ilmu Astronomi, peristiwa ini disebut
konjungsi dan terjadi bulan baru. Menurut kalender China, kondisi seperti ini
juga dijadikan sebagai tanda dari munculnya awal sebuah bulan.[38]
Fase-fase Bulan ini dapat dipergunakan dalam penentuan waktu
bulanan selama satu tahun. Jenis kalender yang menggunakan Bulan sebagai acuan
disebut kalender Bulan (Lunar Calender). Perhitungan ini dilakukan
dengan melihat perubahan fase-fase Bulan setiap harinya selama 1 bulan. Dengan
begitu, jumlah hari dapat dilihat berdasarkan bentuk permukaan Bulan yang
tampak dari Bumi.
Gambar fase-fase Bulan:
Awal bulan ditandai dengan munculnya hilal (bulan sabit
kecil) karena pada permukaan Bulan yang berbentuk sabit tersebut sinar Matahari
yang mengenai Bulan dipantulkan. Kemudian sinar tersebut bertambah semakin
besar dan mencapai puncaknya pada Bulan purnama. Setelah Bulan purnama, sinar
Matahari yang diterima dan dipantulkan Bulan akan semakin mengecil dari hari ke
hari dengan arah yang berlawanan. Pada hari-hari akhir bulan, Bulan semakin
tidak tampak dan menjadi Bulan mati. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya sinar
Matahari yang dipantulkan Bulan.
Fase-fase Bulan yang berlangsung secara teratur tiap
bulannya memberikan kemudahan bagi manusia untuk membuat sistem waktu. Sistem
waktu ini berupa perhitungan jumlah hari setiap bulan yang mengikuti siklus
sinodis Bulan. Artinya, meskipun Bulan telah melakukan perputaran sebesar 360º,
masih belum dianggap memasuki awal bulan baru. Penyebabnya tidak lain karena
perputaran 360º ini hanya sampai pada rentan waktu di mana Bulan berada pada
posisi bulan tua. Sedangkan untuk memasuki bulan baru, hilal harus dapat
dilihat. Secara otomatis harus ada beberapa hari tambahan dari masa bulan tua
untuk berubah menjadi hilal. Oleh sebab itu, siklus semacam ini dinamakan siklus
visibilitas hilal (meminjam istilah Moedji Raharto).[39]
Pergantian hari dalam penanggalan ini tidak bergantung pada
meridian rotasi Bumi, tapi ditentukan oleh kedudukan Matahari. Konsep waktu
dalam penanggalan Bulan (terutama kalender Hijriyah umat Islam) menggunakan
benda langit yang sebenarnya. Pergantian bulan ditentukan dengan visibilitas
hilal dan berdasarkan teori serta pengalaman empiris. Visibilitas hilal hanya
terjadi bila Bulan telah melewati ijtima’ atau konjungsi. Pada saat kedudukan
Bulan dan Matahari di langit berdekatan, visibilitas hilal memerlukan kondisi
Matahari terbenam sehingga penentuan waktu berdasarkan sistem ini memang
konsisten karena pergantian awal bulan dan hari berlangsung pada saat Matahari
terbenam.[40]
[1] Hendra Wisesa, Mini Ensiklopedi Alam
Semesta, Yogyakarta: Garailmu, 2010,
hlm. 41.
[2] Ibid., hlm. 42.
[3] James Evans, The History and
Practice of Ancient Astronomy, New York, Oxford University Press, 1998,
hlm. 45.
[4] Ibid.
[5] Ibid., hlm. 45-46.
[6] Ibid., hlm. 46.
[7] Ibid.
[8] Robbin Kerrod, Bengkel Ilmu
Astronomi, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005, hlm. 140.
[9] Muhyiddin Khazin,
Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Buana Pustaka, 2008,
hlm. 131. Lihat Muhyiddin Khazin, Kamus Ilmu Falak, Yogyakarta: Buana
Pustaka, 2005, hlm. 66-67.
[10] Muhyiddin Khazin, Ibid., hlm.
132.
[11] Tono Saksono, Mengkompromikan Rukyah
& Hisab, Jakarta: Amythas Publicita, 2007, hlm. 27.
[12] Ibid.
[13] Nicholas Harris, Atlas Ruang Angkasa,
Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007, hlm. 13
[14] Ibid.
[15] Tono Saksono, op. cit., hlm. 28.
[16] Muhyiddin Khazin, loc. cit.
[17] Ibid.
[18] Shofiyulloh, Mengenal Kalender
LuniSolar di Indonesia, disampaikan pada saat Kajian Ilmiyah Ahli Hisab
PWNU Jatim yang dilaksanakan di IAIN Sunan Ampel Surabaya pada tanggal 18 April
2004, hlm. 3.
[19] Muhyiddin Khazin, loc. cit.
[20] Shofiyulloh, loc. cit.
[21] Muhyiddin Khazin, op. cit., hlm.
133.
[22] Ibid.
[23] Tono Saksono, op. cit., hlm. 32.
[24] Ibid.
[25] Muhyiddin Khazin, op. cit., hlm.
133.
[26] Ibid.
[27] Tono Saksono, op. cit., hlm.
33-34.
[28] Tono Saksono, op. cit., hlm. 35.
[29] Muhyiddin Khazin, op. cit., hlm.
133-134.
[30] Tono Saksono, op. cit., hlm. 36.
[31] Ibid.
[32] Muhyiddin Khazin, op. cit., hlm.
134.
[33] Tono Saksono, op. cit., hlm. 37.
[34] Ibid.
[35] Ibid., hlm. 38.
[36] Muhyiddin Khazin, loc. cit.
[37] Tono Saksono, loc. cit.
[38] Ibid. hlm. 39.
[39] Moedji Raharto, Sistem Penanggalan
Syamsiyah/Masehi, Bandung: Penerbit ITB, 2001, hlm. 31.
[40] Ibid., hlm. 33.
No comments:
Post a Comment