Monday, December 26, 2011

MATAHARI SEBAGAI PENENTU WAKTU


A.     Data-data Matahari
Matahari atau juga disebut Surya (dari nama Dewa "Surya" - Dewa Matahari dalam kepercayaan Hindu) adalah bintang terdekat dengan Bumi dengan jarak rata-rata 149.680.000 kilometer (93.026.724 mil). Matahari serta kedelapan buah planet (yang sudah diketahui/ditemukan oleh manusia) membentuk Tata Surya. Sejauh penelusuran mengenai tata surya, telah disimpulkan menjadi dua ; Pertama, Sistem Ptolomeus dan Kedua, sistem Kopernicus.[1] Matahari adalah suatu bintang sebagai pusat peredaran benda langit dalam tatasurya.[2] Pada hakekatnya Matahari adalah bintang yang berukuran sedang. Seperti dikemukakan oleh penelitian Kepler, Matahari menjadi pusat peredaran planet-planet dalam tatasurya kita yang orbitnya berbentuk eliptik, sedangkan Matahari berada pada salah satu fokus elip ini.[3]
Di samping sebagai pusat peredaran, matahari juga merupakan pusat sumber tenaga di lingkungan tata surya. Matahari terdiri dari inti dan tiga lapisan kulit, masing-masing fotosfer, kromosfer dan korona.[4] Namun struktur detailnya adalah ; 1) inti atau bagian dalam dari matahari, 2) Permukaan atau kulit matahari, 3) Atmosfer matahari atau tiga lapisan kulit inti, 4) Permukaan matahari, 5) Spektrum Matahari, dan 6) Noda-noda Matahari.[5] Material dari matahari terbentuk dari ledakan bintang generasi pertama seperti yang diyakini oleh ilmuwan, bahwasanya alam semesta ini terbentuk oleh ledakan big bang sekitar 14.000 juta tahun lalu.
Jarak matahari ke bumi adalah 150 juta km.[6] Dibandingkan dengan bumi, diameter matahari kira-kira 100 kalinya.[7] Gaya tarik matahari kira-kira 28 kali gaya tarik bumi. Sinar matahari menempuh masa delapan menit untuk sampai ke Bumi.[8] Kuatnya pancaran sinar matahari dapat mengakibatkan kerusakan pada jaringan sensor mata dan mengakibatkan kebutaan.
Menurut perhitungan para ahli, temperatur di permukaan matahari sekitar 6.000 °C.[9] Jenis batuan atau logam apapun yang ada di Bumi ini akan lebur pada suhu setinggi itu. Temperatur tertinggi terletak di bagian tengahnya yang diperkirakan tidak kurang dari 25 juta derajat Celsius namun disebutkan juga kalau suhu pada intinya 15 juta derajat Celsius. Ada pula yang menyebutkan temperatur di inti matahari kira kira sekitar 13.889.000 °C.  Menurut JR Meyer, panas matahari berasal dari batu meteor yang berjatuhan dengan kecepatan tinggi pada permukaan matahari. Sedangkan menurut teori kontraksi H Helmholz, panas itu berasal dari menyusutnya bola gas. Ahli lain, Dr Bothe menyatakan bahwa panas tersebut berasal dari reaksi-reaksi termonuklir yang juga disebut reaksi hidrogen helium sintetis.

B.     Gerakan Matahari
Ada dua macam perputaran atau peredaran matahari, yaitu : Pertama, beredar bersama-sama sekalian badan angkasa yang mengelilinginya. Tepat di jalannya 57 km dalam satu detik. Kedua, berputar pada sumbunya sekali dalam 25 ½ hari.[10] Selain itu ada beberapa pergerakan lagi,  pergerakan matahari ke arah utara dan selatan bumi pada waktu-waktu tertentu sepanjang tahun. Pergerakan spiral matahari mengelilingi bumi. Dan pergerakan Venus pada orbitnya yang berupa episklus diikuti dengan pergerakan Matahari.[11] Bumi terlindungi daripada angin matahari oleh medan magnet bumi, sementara lapisan ozon pula melindungi Bumi daripada sinar ultra-violet dan sinar infra-merah. Terdapat bintik matahari yang muncul dari masa ke masa pada matahari yang disebabkan oleh perbedaan suhu di permukaan matahari. Bintik matahari itu menandakan kawasan yang "kurang panas" berbanding kawasan lain dan mencapai keluasan melebihi ukuran Bumi. Kadang-kala peredaran Bulan mengelilingi bumi menghalangi sinaran matahari yang sampai ke Bumi, oleh itu mengakibatkan terjadinya gerhana matahari.

C.     Manfaat Matahari
Matahari mempunyai fungsi yang sangat penting bagi bumi. Energi pancaran matahari telah membuat bumi tetap hangat bagi kehidupan, membuat udara dan air di bumi bersirkulasi, tumbuhan bisa berfotosintesis, dan banyak hal lainnya. Merupakan sumber energi (sinar panas). Energi yang terkandung dalam batu bara dan minyak bumi sebenarnya juga berasal dari matahari. Mengontrol stabilitas peredaran bumi yang juga berarti mengontrol terjadinya siang dan malam, tahun serta mengontrol planet-planet lainnya. Tanpa matahari, sulit dibayangkan kalau akan ada kehidupan di bumi.
Pembahasan selanjutnya akan lebih mendalam tentang matahari sebagai penentu waktu. Penentu waktu disini, saya simpulkan ke dalam beberapa bagian, antara lain :
1.      Matahari sebagai Penentu Waktu dalam ruang lingkup Astronomi
Waktu Matahari itu didasarkan dari ide bahwa saat matahari mencapai titik tertinggi di langit, saat tersebut dinamakan tengah hari. Waktu matahari nyata itu didasarkan dari hari matahari nyata, di mana interval di antara dua kali kembalinya matahari ke lokal meridian. Waktu matahari bisa diukur dengan menggunakan jam matahari.
Waktu matahari rata-rata (mean solar time) adalah jam waktu buatan yang dicocokan dengan pengukuran diurnal motion (gerakan nyata bintang mengelilingi bumi) dari bintang tetap agar cocok dengan rata-rata waktu matahari nyata. Panjangnya waktu matahari rata-rata adalah konstan 24 jam sepanjang tahun walaupun jumlah sinar matahari di dalamnya bisa berubah. Satu hari matahari nyata bisa berbeda dari hari matahari rata-rata (yang berisi 86.400 detik) sebanyak 22 detik lebih pendek sampai dengan 29 detik lebih panjang. Karena banyak hari-hari panjang atau hari-hari pendek ini terjadi secara berturut-turut, perbedaan yang terkumpul bisa mencapai hampir 17 menit lebih awal atau lebih dari 14 menit terlambat. Perbedaan antara waktu matahari nyata dan waktu matahari rata-rata itu dinamakan persamaan waktu.
Jam matahari adalah sebuah perangkat yang menunjukkan waktu berdasarkan letak matahari. Rancangan jam matahari yang paling umum dikenal memanfaatkan bayangan yang menimpa permukaan datar yang ditandai dengan jam-jam dalam suatu hari. Seiring dengan perubahan pada posisi matahari, waktu yang ditunjukkan oleh bayangan tersebut pun turut berubah. Pada dasarnya, jam matahari dapat dibuat menggunakan segala jenis permukaan yang ditimpai bayangan yang dapat ditebak posisinya. Kekurangan dari jam matahari adalah tidak bisa mengukur waktu pada saat jam malam. Sebagian besar jam matahari menunjukkan waktu matahari nyata. Dengan variasi rancangan yang kecil, jam matahari dapat pula mengukur waktu standar serta waktu musim panas.

2.      Matahari sebagai Penentu Waktu dalam ruang lingkup Falak atau Astronomi Islam
Mereka bertanya kepadamu tentang hilal. Katakanlah, "Hilal itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi badat) haji... (QS 2:189).[12] Hilal (bulan sabit pertama yang bisa diamati) digunakan sebagai penentu waktu ibadah. Perubahan yang jelas dari hari ke hari menyebabkan bulan dijadikan penentu waktu ibadah yang baik. Bukan hanya umat islam yang menggunakan bulan sebagai penentu waktu kegiatan keagamaan. Umat Hindu menggunakan bulan mati sebagai penentu hari Nyepi. Umat Budha menggunaka bulan purnama sebagai penentu waktu Waisak. Umat Kistiani menggunakan purnama pertama setelah vernal equinox (21 Meret) sebagai penentu hari Paskah.
Islam mengakui matahari dan bulan sebagai penentu waktu (QS 6:96; 10:5) karena keduanya mempunyai periode peredaran yang teratur yang dapat dihitung (QS 55:5). Matahari digunakan untuk penentu pergantian tahun yang ditandai dengan siklus musim. Kegiatan yang berkaitan dengan musim (seperti pertanian, pelayaran, perikanan, migrasi) tentu menggunakan kalender matahari.[13]
Namun, kalender matahari tidak bisa menentukan pergantian hari dengan cermat. Padahal untuk kegiatan agama kepastian hari diperlukan. Maka untuk kegiatan agama kalender bulan (qamariyah) digunakan. Pergantian hari pada kalender bulan mudah dikenali hanya dengan melihat bentuk-bentuk bulan. Hilal pada saat maghrib menunjukkan awal bulan. Bulan setengah pada saat maghrib menunjukkan tanggal 7 atau 8 (tergantung pengamatan hilalnya). Dan bulan purnama menunjukkan tanggal 14 atau 15 (tergantung pengamatan hilalnya). Fase-fase bulan jelas waktu perubahannya dari bentuk sabit sampai kembali menjadi sabit lagi (QS 36:39).[14]
Perlu diketahui bahwa dalam Kalender Hijriyah, sebuah hari diawali sejak terbenamnya Matahari waktu setempat, dan penentuan awal bulan (kalender) tergantung pada penampakan (visibilitas) Bulan (satelit). Karena itu, satu bulan kalender Hijriyah dapat berumur 29 hari atau 30 hari. Dalam al-Qur'an surat Yunus (10) ayat 5 dikatakan bahwa Tuhan memang sengaja menjadikan matahari dan bulan sebagai alat menghitung tahun dan perhitungan lainnya. Juga dalam Surat Ar Rahman (55) ayat 5 disebutkan bahwa matahari dan bulan beredar menurut perhitungan. Karena ibadah-ibadah dalam Islam terkait langsung dengan posisi benda-benda astronomis (khususnya matahari dan bulan) maka umat Islam sudah sejak awal mula muncul peradaban Islam menaruh perhatian besar terhadapa ilmu astronomi (disebut ilmu falak).

3.      Matahari dan Penentuan Jadwal Sholat [15]
Dalam penentuan jadwal salat, data astronomi terpenting adalah posisi matahari dalam koordinat horizon, terutama ketinggian atau jarak zenit. Fenomena yang dicari kaitannya dengan posisi matahari adalah fajar (morning twilight), terbit, melintasi meridian, terbenam, dan senja (evening twilight). Dalam hal ini astronomi berperan menafsirkan fenomena yang disebutkan dalam dalil agama (Al-Qur’an dan hadits Nabi) menjadi posisi matahari. Sebenarnya penafsiran itu belum seragam, tetapi karena masyarakat telah sepakat menerima data astronomi sebagai acuan, kriterianya relatif mudah disatukan.
Di dalam hadits disebutkan bahwa waktu shubuh adalah sejak terbit fajar shidiq (sebenarnya) sampai terbitnya matahari. Di dalam Al-Quran secara tak langsung disebutkan sejak meredupnya bintang-bintang (Q.S. 52:49). Maka secara astronomi fajar shidiq difahami sebagai awal astronomical twilight (fajar astronomi), mulai munculnya cahaya di ufuk timur menjelang terbit matahari pada saat matahari berada pada  kirakira 18 derajat di bawah horizon (jarak zenit z = 108o). Saaduddin Djambek mengambil pendapat bahwa fajar shidiq bila z = 110o, yang juga digunakan oleh Badan Hisab dan Ru’yat Departemen Agama RI. Fajar shidiq itu disebabkan oleh hamburan cahaya matahari di atmosfer atas. Ini berbeda dengan apa yang disebut fajar kidzib (semu) — dalam istilah astronomi disebut cahaya zodiak — yang disebabkan oleh hamburan cahaya matahari oleh debu-debu antarplanet.
Waktu dzhuhur adalah sejak matahari meninggalkan meridian, biasanya diambil sekitar 2 menit setelah tengah hari. Untuk keperluan praktis, waktu tengah hari cukup diambil waktu tengah antara matahari terbit dan terbenam.
Dalam penentuan waktu asar, tidak ada kesepakatan karena fenomena yang dijadikan dasar pun tidak jelas. Dasar yang disebutkan di dalam hadits, Nabi SAW diajak shalat asar oleh malaikat Jibril ketika panjang bayangan sama dengan tinggi benda sebenarnya dan pada keesokan harinya Nabi diajak pada saat panjang bayangan dua kali tinggi benda sebenarnya. Walaupun dari dalil itu dapat disimpulkan bahwa awal waktu asar adalah sejak bayangan sama dengan tinggi benda sebenarnya, ini menimbulkan beberapa penafsiran karena fenomena seperti itu tidak bisa digeneralilasi sebab pada musim dingin hal itu  bisa dicapai pada waktu dhuhur, bahkan mungkin tidak pernah terjadi karena bayangan selalu lebih panjang daripada tongkatnya.
Ada yang berpendapat tanda masuk waktu asar bila bayang-bayang tongkat panjangnya sama dengan panjang bayangan waktu tengah hari ditambah satu kali panjang tongkat sebenarnya dan pendapat lain menyatakan harus ditambah dua kali panjang tongkat sebenarnya. Pendapat yang memperhitungkan panjang bayangan pada waktu dzhuhur atau mengambil dasar tambahannya dua kali panjang tongkat (di beberapa negara Eropa) dimaksudkan untuk mengatasi masalah panjang bayangan pada musim dingin. Badan Hisab dan Ru’yat Departemen Agama RI menggunakan rumusan: panjang bayangan waktu asar = bayangan waktu dzhuhur + tinggi bendanya; tan(za) = tan(zd) + 1. Saya berpendapat bahwa makna hadits itu dapat difahami sebagai waktu pertengahan antara dhuhur dan maghrib, tanpa perlu memperhitungkan jarak zenit matahari. Hal ini diperkuat dengan ungkapan ‘salat pertengahan’ dalam Al-Qur’an S. 2:238 yang ditafsirkan oleh banyak mufassir sebagai salat asar. Kalau pendapat ini yang digunakan, waktu salat asar akan lebih cepat sekitar 10 menit dari jadwal salat yang dibuat Departemen Agama.
Waktu maghrib berarti saat terbenamnya matahari. Matahari terbit atau berbenam didefinisikan secara astronomi bila jarak zenith z = 90o50′ (the Astronomical almanac) atau z = 91o bila memasukkan koreksi kerendahan ufuk akibat ketinggian pengamat 30 meter dari permukaan tanah. Untuk penentuan waktu salat maghrib, saat matahari terbenam biasanya ditambah 2 menit karena ada larangan melakukan salat tepat saat matahari terbit, terbenam, atau kulminasi atas.
Waktu isya ditandai dengan mulai memudarnya cahaya merah di ufuk barat, yaitu tanda masuknya gelap malam (Al-Qur’an S. 17:78). Dalam astronomi itu dikenal sebagai akhir senja astronomi (astronomical twilight) bila jarak zenit matahari z = 108o).
Posisi matahari telah dapat diformulasikan dalam algoritma sederhana dengan kecermatan plus-minus 2 menit untuk daerah lintang antara 65 derajat LU dan 65 derajat LS. Algoritma itu telah saya ubah menjadi program komputer sederhana penentuan jadwal salat. Untuk daerah dengan lintang lebih  dari 48 derajat pada musim panas senja dan fajar bersambung (continous twilight) sehingga dalam program saya itu waktu isya dan shubuh diqiyaskan (disamakan) pada waktu normal sebelumnya.

4.      Matahari dalam Penentuan Waktu Awal Bulan
Kalender Islam ditentukan berdasarkan penampakan hilal (bulan sabit pertama) sesaat sesudah matahari terbenam. Alasan utama dipilihnya kalender bulan (qamariyah) -- walau tidak dijelaskan di dalam Hadits maupun Al-Qur'an -- nampaknya karena alasan kemudahan dalam menentukan awal bulan dan kemudahan dalam mengenali tanggal dari perubahan bentuk (fase) bulan. Ini berbeda dari kalender syamsiah (kalender matahari) yang menekankan pada keajegan (konsistensi) terhadap perubahan musim, tanpa memperhatikan tanda perubahan hariannya. Karena kemudahan itu -- orang awam pun bisa menentukan kapan pergantian bulan -- sistem kalender tradisional banyak yang bertumpu pada kalender bulan. Pada masyarakat yang menghendaki adanya penyesuaian dengan musim, diadakan sistem kalender gabungan: qamari-syamsiah (luni-solar calendar), seperti kalender Yahudi dan kalender Arab sebelum masa kerasulan Muhammad SAW. Pada sistem gabungan ini ada bulan ketiga belas setiap 3 tahun agar kalender qamariah tetap sesuai dengan musim. Nama bulan pun disesuaikan dengan nama musimnya, seperti Ramadan yang semula berarti bulan musim panas terik. Dalam ajaran Islam penambahan bulan itu (disebut nasi) dilarang karena biasanya bulan ke-13 itu diisi dengan upacara atau pesta yang dipandang sesat (Al-Qur'an S. 9:37).
Karena waktu ibadah sifatnya lokal, penentuannya yang berdasarkan penampakan hilal memang merupakan cara yang termudah. Masyarakat di suatu tempat cukup memperhatikan kapan hilal teramati untuk menentukan saat ibadah puasa Ramadan, beridul fitri, beridul adha, atau saat berhaji (khusus di daerah sekitar Mekkah). Seandainya cuaca buruk, Nabi Muhammad SAW memberikan petunjuk praktis: genapkan bulan sekarang menjadi 30 hari, karena tidak mungkin bulan qamariyah lebih dari 30 hari. Tentunya ini menuntut pengamatan hilal yang lalu. Karena sifatnya lokal, apapun keputusan di suatu daerah sah berlaku untuk daerah itu. Daerah lain mungkin saja berbeda.
Penentuan awal bulan yang saat ini sering membingungkan hanyalah merupakan akibat perkembangan zaman. Faktor-faktor penyebab kerumitan itu antara lain: tuntutan penyeragam waktu ibadah untuk daerah yang luas, bahkan ada pula yang menuntut penyeragaman yang sifatnya mendunia tanpa menyadari bahwa banyak kendala yang dengan teknologi maju saat ini belum bisa teratasi; ru'yatul hilal (pengamatan hilal) saat ini tidak murni lagi, hisab secara tak sadar telah mendominasi sebagian besar pengamat -- padahal hisab (perhitungan) yang mereka gunakan banyak yang tidak akurat. kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah yang ditetapkan berdasarkan Musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS), dan dipakai secara resmi untuk penentuan awal bulan Hijriyah pada Kalender Resmi Pemerintah, dengan prinsip : Awal bulan (kalender) Hijriyah terjadi jika:
Ø  Pada saat matahari terbenam, ketinggian (altitude) Bulan di atas cakrawala minimum 2°, dan sudut elongasi (jarak lengkung) Bulan-Matahari minimum 3°, atau
Ø Pada saat bulan terbenam, usia Bulan minimum 8 jam, dihitung sejak ijtimak.

5.      Matahari sebagai Penentu Waktu Gerhana
Gerhana Bulan selalu terjadi pada saat Bulan berada pada fase purnama. Namun demikian, tidak setiap purnama terjadi gerhana Bulan. Hal ini karena orbit Bulan mengelilingi Bumi tidak bertepatan dengan orbit Bumi mengelilingi Matahari (disebut ekliptika), tetapi membentuk sudut sekitar 5,2o. Apabila fase bulannya purnama dan posisinya di titik perpotongan orbit Bulan dan ekliptikalah, gerhana Bulan akan terjadi. Saat itu fase bulan sedang purnama, dan posisinya hampir di titik perpotongan orbit Bulan dan ekliptika.
Gerhana Bumi dan bulan adalah benda langit yang tidak memiliki cahaya sendiri. Jika bulan atau bumi terkena cahaya matahari maka pada bagian belakang bulan atau bumi akan terbentuk bayangan. Karena ukuran matahari jauh lebih besar daripada ukuran bulan atau bumi maka terbentuk dua macam bayangan berbentuk kerucut, yaitu umbra dan penumbra. Umbra atau bayangan inti bayangan di bagian tengah yang sangat gelap. Penumbra atau bayangan semu adalah bayangan samar-samar di sekeliling umbra. Jika dalam peredarannya, bumi memasuki bayangan bulan atau bulan memasuki bayangan bumi maka akan terjadi gerhana. Ada dua macam gerhana, yaitu gerhana bulan dan gerhana matahari.
a.       Gerhana Bulan
          Gerhana bulan terjadi pada saat bulan purnama. Gerhana bulan terjadi jika bumi berada di antara matahari dan bulan, serta matahari, bumi, dan bulan berada pada satu garis lurus, sehingga bulan memasuki bayang-bayang bumi, atau cahaya matahari ke arah bulan terhalang oleh bumi. Gerhana bulan terjadi ketika bulan berada di penumbra dan umbra yang berlangsung selama ± 6 jam. Ketika bulan berada di penumbra disebut gerhana bulan penumbra. Ketika bulan sebagian berada di penumbra dan sebagian lagi berada di umbra disebut gerhana bulan sebagian. Sedangkan, ketika bulan berada di umbra disebut gerhana bulan total. Gerhana bulan total berlangsung selama ±1 jam 40 menit.
b.      Gerhana Matahari
Gerhana matahari terjadi pada saat bulan baru. Pada saat gerhana matahari, bulan di antara matahari dan bumi, serta matahari, bulan, dan bumi berada pada satu garis lurus. Sehingga bumi memasuki bayang-bayang bulan, atau cahaya matahari ke bumi terhalang oleh bulan. Perhatikan gambar berikut! Gerhana matahari dibedakan atas gerhana matahari sebagian, gerhana matahari total, dan gerhana matahari cincin. Gerhana matahari total adalah gerhana matahari yang diamati dari daerah umbra. Gerhana matahari total berlangsung selama ± 6 menit. info Harap mengulang inquiryGerhana matahari sebagian adalah gerhana matahari yang diamati dari daerah penumbra. Orbit bumi dan orbit bulan berbentuk elips. Oleh karena itu, jarak bumi-bulan tidak selalu sama tetapi berubah-ubah. Ketika terjadi gerhana matahari cincin; letak bumi-bulan pada jarak terjauh sehingga: a. kerucut umbra bulan lebih pendek daripada jarak bumi-bulan; dan b. bumi terkena perpanjangan kerucut umbra bulan. Perhatikan gambar di samping! Jangan sekali-kali melihat langsung pada saat terjadi gerhana matahari! Pada saat gerhana, sinar matahari masih sangat menyilaukan jika dilihat langsung oleh mata kita.

6.      Matahari sebagai Penentu Arah Kiblat[16]
Rasdul Qiblah sebuah solusi. Kesempatan yang sangat tepat untuk mengetahui secara persis arah kiblat adalah saat posisi matahari berada tepat di atas ka'bah (rasdul Qiblah). Posisi matahari tepat berada di atas Ka'bah akan terjadi ketika lintang Ka'bah sama dengan deklinasi matahari, pada saat itu matahari berkulminasi tepat di atas Ka'bah. Dengan demikian arah jatuhnya bayangan benda yang terkena cahaya matahari itu adalah arah kiblat.
Dalam setiap tahun akan ditemukan dua kali posisi matahari di atas Ka'bah. Pada tahun ini kesempatan tersebut datang pada tanggal 28 Mei 2007 pukul 11.57 LMT dan 16 Juli 2007 pukul 12.06 LMT. Bila waktu Mekah (LMT) dikonversi menjadi waktu Indonesia bagian barat (WIB) maka harus ditambah dengan 4 jam 21 menit sama dengan pukul 16.18 WIB dan 16.27 WIB. Oleh karena itu, setiap tanggal 27 Mei atau 28 Mei  pukul 16.18 WIB dapat mengecek arah kiblat dengan mengandalkan bayangan matahari yang tengah berada di atas Ka'bah. Begitu pula setiap tanggal 15 Juli atau 16 Juli juga dapat dilakukan pengecekan arah kiblat dengan metode tersebut.
Penentuan arah kiblat menggunakan bayangan matahari ini merupakan cara yang paling sederhana dan bebas hambatan. Penentuan dengan kompas masih bisa diganggu oleh pengaruh medan magnet. Dengan demikian arah mata angin yang ditetapkan berdasar jarum kompas, belum tentu menentukan arah yang sebenarnya.
Dengan mengandalkan bayangan matahari yang tengah berada di atas Ka'bah, penentuan arah kiblat tidak terganggu oleh apapun. Hambatan terjadi kalau pada saat itu langit berawan. Dalam praktiknya, tidak perlu langkah yang rumit untuk menentukan arah kiblat berdasar jatuhnya bayangan benda yang disinari matahari. Pengamat (observer) cukup menggunakan tongkat atau benda lain sejenis untuk diletakkan di tempat yang memperoleh cahaya matahari. Cahaya matahari yang menyinari benda tersebut akan menghasilkan bayangan. Arah bayangan ini merupakan arah kiblat.
Penentuan arah kiblat dengan cara tersebut sejatinya bisa dilakukan di semua tempat di permukaan bumi. Hanya saja, waktunya berbeda. Area yang terpisah dari Ka'bah kurang dari 90 derajat, akan bisa melihat matahari yang posisinya sedang berada di atas Ka'bah. Wilayah yang terpisah lebih dari 90 derajat dari Ka'bah, sudah gelap saat matahari berada di posisi tersebut, Wilayah Indonesia bagian Barat (WIB) dan tengan (WITA), masih bisa menempuh cara ini untuk mengetahui arah kiblat. Sementara itu, Wilayah Indonesia bagian Timur (WIT) harus melakukannya di waktu yang lain. Dengan kata lain, cara ini dapat digunakan selama masih bisa melihat matahari.
Fenomena ini membuka mata bahwa selain sebagai sumber energi, matahari juga merupakan alat untuk menciptakan bayang-bayang, dengan bayang-bayang tersebut manusia bisa menentukan arah. Penentuan arah kiblat dengan cara tersebut jauh lebih sederhana dibandingkan penentuan dengan cara lain. Tanpa mengandalkan cahaya maatahari, untuk menentukan arah kiblat perlu menemukan tiga hal penting, yakni posisi pengamat, posisi Ka'bah, dan arah mata angin.
Posisi pengamat berdasar lintang dan bujur geografis bisa ditentukan dengan mengandalkan global positioning system (GPS). Cara yang sama juga bisa digunakan untuk menentukan posisi Ka'bah. Langkah yang agak rumit harus ditempuh untuk menentukan arah mata angin secara tepat. Jarum yang ditunjukkan kompas, masih harus dipadu dengan data soal posisi kutub utara magnetik bumi. Setelah menemukan ketiganya, masih diperlukan proses perhitungan yang tidak sederhana.
Oleh karena itu dianjurkan agar umat Islam menjadikan kesempatan posisi matahari di atas Ka'bah pada tanggal 28 Mei 2007 hari ini sebagai momentum penentuan arah kiblat. Penentuan ini juga perlu dilakukan di lapangan yang sering dipakai salat Id, juga mushala di perkantoran.


[1] Susiknan Azhari, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2004, hlm. 14
[2] Muhyiidin Khazin, Kamus Ilmu Falak, Yogyakarta : Buana Pustaka, 2005, hlm. 77
[3] Tono Saksono, mengkompromikan Rukyat dan Hisab, Jakarta : Amythas Publicita, 2007, hlm. 24
[4] Den Hollander , Ilmu Falak untuk Sekolah Menengah di Indonesia, Jakarta : J.B. Wolters, 1951, hlm. 99
[5]  Danang Endarto, Pengantar Kosmografi, Surakarta : LPP UNS dan UPT UNS Press, 2005, hlm. 94
[6] Tono Saksono, Op. cit. hlm, 25
[7] Danang Endarto, Op. cit, hlm. 92
[8] Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta : Buana Pustaka, 2004, hlm. 125
[9] Den Hollander , Log. cit
[10] Den Hollander , Op.cit, hlm. 100
[11] Anton Ramdan, Islam dan Astronomi, Bee Media Indonesia, hlm. 108
[12] Departemen Agama Republik Indonesia, Op. cit
[13]  Lihat selengkapnya dalam Artikel Hilal dan Masalah Beda Hari Raya yang disusun oleh T. Djamaluddin (Staf Peneliti Bidang Matahari dan Lingkungan Antariksa, LAPAN, Bandung)
[14] Departemen Agama Republik Indonesia, Op. cit
[15] Lihat selengkapnya dalam artikel T. Djamaluuddin, Matahari dan Penentuan Jadwal sholat, Peneliti matahari dan lingkungan Antariksa, LAPAN Bandung. Dan dimuat dalam tabloid Hikmah, minggu III Juli 1995
[16] Lihat selengkapnya dalam Artikel Susiknan Azhari, saatnya mengecek kembali arah kiblat 

No comments:

Post a Comment