A.
Sejarah
Penanggalan Jawa
Di pulau Jawa pernah berlaku sistem penanggalan hindu, yang
dikenal dengan penanggalan “saka”, yakni sistem penanggalan yang didasarkan
pada peredaran matahari mengelilingi bumi.[1]
Permulaan tahun Saka ini adalah bertepatan dengan hari sabtu tanggal 14 Maret
1978 M, yaitu satu tahun setelah penobatan Prabu Syaliwahono (Aji Soko) sebagai
raja India.[2] Oleh
sebab itu penanggalan ini dikenal sebagai penanggalan Soko atau Saka. Selain
penanggalan tersebut di pulau Jawa pernah berlaku sistem penanggalan Islam atau
Hijriyah yang perhitungannya berdasarkan pada peredaran bulan mengelilingi
bumi, yang kemudian kedua sistem tersebut nantinya dikombinasi menjadi sebuah
sistem baru, yaitu sistem penanggalan Jawa.
Pada tahun 1625 Masehi, Sri Sultan Muhammad
yang terkenal dengan nama Sultan Agung .Anyokrokusumo
berusaha keras menyebarkan agama Islam di pulau Jawa di wilayah kerajaan
Mataram mengeluarkan dekrit untuk mengubah
penanggalan Saka. Sejak saat itu kalender Jawa versi Mataram menggunakan sistem
kalender kamariah atau lunar, namun tidak menggunakan angka dari tahun Hijriyah
(saat itu tahun 1035 H). Angka tahun Saka tetap dipakai dan diteruskan. Hal ini
dilakukan demi asas kesinambungan. Sehingga tahun saat itu yang adalah tahun
1547 Saka,
diteruskan menjadi tahun 1547 Jawa.[3]
Dekrit Sultan Agung
tersebut berlaku di seluruh wilayah kerajaan Mataram II, yaitu seluruh pulau Jawa dan Madura kecuali Banten, Batavia dan Banyuwangi. Ketiga daerah terakhir ini tidak
termasuk wilayah kekuasaan Sultan Agung.[4]
Namun menurut Prof.
Dr. MC Riclefs, dalam artikelnya “Pengaruh Islam Terhadap Budaya Jawa Terutama
pada Abad XIX”, upaya percampuran itu terjadi upaya percampuran itu terjadi
pada tahun 1633 M. Riclefs mengisahkan bahwa pada tahun 1633 M, Sultan Agung
beziarah ke makam Sunan Bayat di Tembayat. Disebutkan dalam Babad Nitik, Sultan Agung diterima oleh
arwah Sunan Bayat. Sultan Agung yang masih berada di makam tersebut
diperintahkan untuk mengganti kalender Saka yang notabene adalah kalender Hindu
menjadi kalender Jawa. Kemudian kalender tersebut diubah sistemnya mengikuti
aturan kamariah yang berisi bulan-bulan Islam. Maka sejak saat itu terciptalah
kalender baru yang unik, yaitu kalender Jawa-Islam.
Perubahan kalender di Jawa itu dimulai pada hari Jumat Legi,
tanggal 1 Sura tahun Alip 1555 Saka bertepatan dengan tanggal 1 Muharram tahun
1043 H, atau tanggal 8 Juli 1633 M.[5]
B.
Konsep
Penanggalan Jawa
Secara astronomis, kalender Jawa tergolong mathematical
calendar, sedangkan kalender Hijriah astronomical calendar. Mathematical atau
aritmatical calendar merupakan sistem penanggalan yang aturannya didasarkan
pada perhitungan matematika dari fenomena alam. Kalender Masehi juga tergolong
mathematical calendar. Adapun astronomical calendar merupakan kalender
berdasarkan fenomena alam sendiri seperti kalender Hijriah dan kalender Cina.[6]
Kalender Jawa adalah sebuah kalender yang istimewa karena merupakan perpaduan
antara budaya Islam, dan budaya Hindu-Buddha Jawa yang perhitungannyan didasarkan
pada bulan menbelilingi matahari. Dalam sistem kalender Jawa, siklus hari yang
dipakai ada dua: siklus mingguan yang terdiri dari 7 hari seperti yang kita
kenal sekarang, dan siklus pekan pancawara yang
terdiri dari 5 hari pasaran.
Sistem Penanggalan Jawa
lebih lengkap dan komprehensif apabila dibandingkan dengan sistim penanggalan
lainnya, lengkap dan komprehensifnya adalah suatu pembuktian bahwa ketelitian Jawa
dalam mengamati kondisi dan pengaruh seluruh alam semesta terhadap planet bumi
seisinya termasuk pengaruh kepada pranata kehidupan manusia.
Orang Jawa pada masa
pra Islam mengenal pecan yang lamanya tidak hanya tujuh hari saja, namun dari
dua sampai Sembilan hari, pekan- pekan ini disebut dengan nama-nama dwiwara (2
hari), triwara (3 hari), caturwara (4 hari), pancawara (5 hari), sadwara (6
hari), saptawara (7 hari), astawara (8 hari), dan sangawara (9 hari).[7] Namun
pada zaman sekarang hanya pekan yang terdiri dari lima dan tujuh hari saja yang
dipakai. Adapun pekan dan hari tersebut adalah sebagai berikut:
Pancawara - Pasaran
Perhitungan hari dengan siklus 5 harian :
1. Kliwon / Kasih
2. Legi / Manis
3. Pahing / Jenar
4. Pon / Palguna
5. Wage / Kresna / Langking
Perhitungan hari dengan siklus 5 harian :
1. Kliwon / Kasih
2. Legi / Manis
3. Pahing / Jenar
4. Pon / Palguna
5. Wage / Kresna / Langking
Saptawara - Padinan
Perhitungan hari dengan siklus 7 harian :
1. Minggu / Radite
2. Senen / Soma
3. Selasa / Anggara
4. Rebo / Budha
5. Kemis / Respati
6. Jemuwah / Sukra
7. Setu / Tumpak / Saniscara.[8]
Perhitungan hari dengan siklus 7 harian :
1. Minggu / Radite
2. Senen / Soma
3. Selasa / Anggara
4. Rebo / Budha
5. Kemis / Respati
6. Jemuwah / Sukra
7. Setu / Tumpak / Saniscara.[8]
Karena sistemnya yang tidak
lagi menggunakan peredaran matahari, namun didasarkan pada peredaran bulan
disenyawakan denagan sistem kalender Hijriyah, maka nama-nama bulan mengadopsi
nama bulan-bualan Islam yang dibahasajawakan, ditetapkan dengan urut-urutan
sebagai berikut:
No.
|
Nama
Bulan
|
Jumlah Hari
|
1
|
Sura
|
30
|
2
|
Sapar
|
29
|
3
|
Mulud
|
30
|
4
|
Bakdamulud
|
29
|
5
|
Jumadilawal
|
30
|
6
|
Jumadilakir
|
29
|
7
|
Rejeb
|
30
|
8
|
Ruwah
|
29
|
9
|
Pasa
|
30
|
10
|
Sawal
|
29
|
11
|
Sela
|
30
|
12
|
Besar
|
29/30
|
Jumlah
|
354/355
|
Disamping itu, terdapat
juga sistem perhitungan yang berbeda, satu tahun umumya ditetapkan 354 3/8
hari. Dalam perhitungan ini pecahan diabaikan dan diatasi dengan cara tiap-tiap
8 tahun terdapat 3 tahun panjang (kabisat), sehingga selama 8 tahun umurnya =
354 x 8 + 3 = 2835 hari, tahun-tahun kabisat itu diletakkan pada tahun ke-2, 4,
dan ke-8.
Satu daur yang lamanya
8 tahun disebut windu, tahun panjang disebut wuntu yang umurnya 355 hari,
sedangakan tahun pendek disebut wastu yang umurnya 354 hari.[9]
No.
|
Nama Tahun
|
Umur
(hari)
|
1
|
Alip
|
354
|
2
|
Ehe
|
355
|
3
|
Jimawal
|
354
|
4
|
Je
|
355
|
5
|
Dal
|
354
|
6
|
Be
|
354
|
7
|
Wawu
|
354
|
8
|
Jimakir
|
355
|
Jumlah
|
2835
|
1. Koreksi
Berbeda dengan sistem penanggalan Hijriyah yang jumlah harinya dalam
setahun adalah 354 11/10 hari, maka dalam sistem penanggalan Jawa jumlah hari
dalam setahun adalah 354 3/8 hari.[10]
Koreksi pengurangan hari antara sistem penanggalan Hijriyah dan sistem
penanggalan Jawa dapat dihitung:
] – = -
[)] - [)] = ] – ]
Jadi, selisih hari dalam satu tahun adalah hari.
Sesuai perhitungan di atas maka tiap tahun selisih dari sistem
penanggalan Jawa Islam dengan sistem penanggalan Hijriyah adalah 1/120 hari.
Artinya, bila kelebihan dikalkulasi selama 120 tahun maka akan didapat
kelebihan 1 hari selama kurun waktu 120 tahun. Oleh karena itu, dalam sistem
penanggalan Jawa terdapat koreksi pengurangan 1 hari dalam kurun waktu 120
tahun. Koreksi pengurangan 1 hari dalam 1 tahun ini dimulai dari tahun 1626
Jawa dengan cara mengurangi hitungan hari dan pasaran pada awal tahun tersebut.
Pengurangan satu hari itu dapat digambarkan sebagai berikut:
a.
Suro alip tahun 1555 soko menjelang tahun 1627 (71 tahun) jatuh pada
hari Jumat Legi (Ajumgi)
b.
Mulai permulaan tahun 1627 sampai menjelang tahun 1747 satu suro alip
(120 tahun) jatuh pada hari Kamis Kliwon (Amiswon)
c.
Mulai permulaan tahun 1747 hingga menjelang tahun 1867 satu suro alip
(120 tahun) jatuh pada hari Rabu Wage (Aboge)
d.
Mulai permulaan tahun 1867 hingga menjelang tahun 1987 satu suro alip
(120 tahun) jatuh pada hari Seloso Pon (Asapon)[11]
C.
Cara Perhitungan
Penanggalan Jawa Islam
Contoh
konversi pada tanggal 1 Muharram 1441 H
ke kalender Jawa…?
Langkah pertama:
1440 + 512 = 1952 Jw
Langkah kedua:
Menentukan jenis kaidah dari
tahun jawa yang telah diperoleh (1952 Jw). Kaidah yang dimaksud adalah
kaidah-kaidah dalam kurun waktu 120 tahun (15 windu). Berikut daftar kaidah
yang terbentuk semenjak awal tahun Jawa:
1.
Suro alip tahun 1555 soko menjelang tahun 1627 (71 tahun) jatuh pada
hari Jumat Legi (Ajumgi)
2.
Mulai permulaan tahun 1627 sampai menjelang tahun 1747 satu suro alip
(120 tahun) jatuh pada hari Kamis Kliwon (Amiswon)
3.
Mulai permulaan tahun 1747 hingga menjelang tahun 1867 satu suro alip
(120 tahun) jatuh pada hari Rabu Wage (Aboge)
4.
Mulai permulaan tahun 1867 hingga menjelang tahun 1987 satu suro alip
(120 tahun) jatuh pada hari Seloso Pon (Asapon)
Dari daftar aturan tersebut, maka diketahui bahwa tahun 1952 Jw
termasuk dalam kaidah Asapon (1867-1987 Jw)
Langkah ketiga:
Menentukan
jenis tahun dalam siklus satu windu. Caranya adalah:
Tahun Jawa : 8, sehingga 1952 : 8 = 244 sisa 0
Angka 244
menunjukkan jumlah siklus yang telah dilalui, sedangkan sisa 0 menunjukkan
urutan tahun jawa dalam siklus satu windu. Berikut aturannya yang hanya berlaku
untuk kaidah Asapon (1867-1987 Jw):
a. 0/8 ; berarti tahun Ba, 1
Suro jatuh pada hari Rabu Kliwon
b.
1; berarti tahun Wawu, 1 Suro jatuh pada hari Ahad Wage
c.
2 ; berarti tahun Jim Akhir, 1 Suro jatuh pada hari Kamis Pon
d.
3; berarti tahun Alip, 1 Suro jaruh pada jatuh Selasa Pon
e.
4 ; berarti tahun Ehe, 1 Suro jatuh pada hari Sabtu Paing
f.
5 ; berarti tahun Jim Awal, 1 Suro jatuh pada hari Kamis Paing
g.
6 ; berarti tahun Ye, 1 suro jatuh pada hari Senin Legi
h.
7 ; berarti tahun Dal, 1 suro jatuh pada hari Sabtu Legi
Jadi, tanggal 1 Muharram 1441 H bertepatan
dengan hari Rabu Kliwon tanggal 1 Suro tahun 1952 Jw.
Contoh menghitung hari dan
pasaran dalam tahun Jawa:
Menentukan tanggal 6 Mulud
1909 Jw…..??
Langkah Pertama:
Menentukan kaidah[12]
Maka sesuai dengan aturan
tersebut, tahun 1909 Jw termasuk masa Asapon (1867-1987 Jw).
Langkah kedua:
Menentukan jenis tahun dari 1
windu
1909 Jw : 8 = 238 sisa 5
Karena sisa 5, maka tahun
tersebut termasuk dalam tahun Jim Awal. Sehingga 1 Suro jatuh pada hari Kamis
Pahing.
Langkah ketiga:
Menentukan hari dan pasaran
dari tanggal yang diinginkan.
Setelah
diketahui bahwa 1 Suro 1909 Jw jatuh pada hari Kamis Pahing, selanjutnya
tinggal mencocokkan / mengurutkan hari sesuai dengan perhitungan berikut:
Suro = 30 hari
Sapar = 29 hari
Mulud = 6 hari
Jumlah = 65 hari
Selanjutnya
jumlah hari dibagi angka 7 untuk menentukan jenis hari dan dibagi angka 5 untuk
menentukan jenis pasaran.
Hari = 65 : 7 = 9 Pasaran = 65 : 5 = 13
Sisa = 2 Sisa = 0
Selanjutnya
sisa yang diperoleh tinggal diurutkan sesuai dengan hari dan pasaran tanggal 1
Suro yang telah diperoleh yaitu Kamis Pahing, maka:
Hari
ke-2 adalah Jumat (dimulai dari hari Kamis)
Pasaran
ke-0 adalah Legi (dimulai dari Pahing, Pahing-Pon-Wage-Kliwon-Legi)
[1]
Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam Teori
dan Praktek. Yogyakarta: Buana Pustaka, 2004. Hlm. 116
[2]
Ibid
[4]
Ibid
[5]
Susiknan Azhari, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern. Yogyakarta:
Suara Muhammadiyah, 2007. Hlm. 156
[6] http://asia.oocities.com/jawijowo/kalenderjw.html#ixzz11Tbn4DDF. Diakses pada tanggal 05/10/10 pukul 16.56 WIB
[8]
Ibid
[9] Lihat Muh. Choeza’i Aliy,
Pelajaran Hisab Istilah Untuk Mengetahui
Penanggalan Jawa Islam Hijriyah dan Maseh. Semarang: Ramadhani, 1977. hlm.
6
[10] Lihat BHR Depag, Almanak Hisab
Rukyah. Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama
Islam. Hlm. 43-45
[12] Lihat hal. 8-9
No comments:
Post a Comment